Now you can Subscribe using RSS

Submit your Email

Tuesday, April 08, 2008

Reformasi Pembiayaan Pendidikan Pesantren

Tony
PEMBIAYAAN PENDIDIKAN:
Studi Tentang Unit Cost Santri Pondok Pesantren di Sumatera Utara

Al Rasyidin

So far, studies on costs of education are focused on a macro cost level and ignore private costs borne by parents. The present study aims at collecting comprehensive and accurate data on the costs of santris staying in pesantren (Islamic boarding schools) in North Sumatera. The study applies a quantitative non-experimental mode of inquiry with an explorative survey approach. The population includes all pesantrens in North Sumatera, and 14 pesantrens in seven districts are taken as samples. Data were collected with open ended questionnaires and semi structured interviews. The study finds out five resources to cover the cost of education in pesantrens in North Sumatera: the governments, parents, foundations, public charity, and business of the pesantrens. Of the five resources, parents are the main financial resources to the cost of education in pesantrens in North Sumatera. The highest contribution of parents for MTs (Islamic junior high school) is 92,03%, and 100% for MA (Islamic senior high school). More specifically, the study finds out that the real cost of santri per day range from IDR. 4.166,67 to IDR. 6.666,67, and the unit cost of santri per subject matter for 14 subject matters ranges from IDR. 1071,42 to IDR. 8928,57.

Term Kunci: Belanja rutin Pondok Pesantren, pengeluaran orangtua santri

Pembiayaan merupakan salah satu komponen penting yang tidak bisa dipisahkan dari penyelenggaraan pendidikan. Setiap upaya pencapaian tujuan pendidikan sangat bergantung pada ketersediaan dan dukungan dana yang memadai. Proses pendidikan pada suatu satuan pendidikan, seperti madrasah atau pesantren, tidak akan dapat terlaksana tanpa dukungan dan ketersediaan pembiayaan yang kontiniu dan memadai.
Biaya pendidikan sebenarnya memiliki cakupan yang sangat luas, yaitu meliputi semua pengeluaran yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan. Dalam pengertian ini, setiap keluarga misalnya harus menyediakan sejumlah dana untuk membiayai pendidikan anak-anaknya dari mulai uang sekolah, pembelian buku teks, baju seragam, tas, sepatu, buku dan alat tulis, uang transport, uang saku, biaya kursus atau les, biaya ujian dan ulangan, biaya praktikum, biaya ekstra kurikuler, dan lain-lain. Item pembiayaan tersebut akan bertambah lagi bila seorang anak harus tinggal di asrama atau mondok di pesantren. Dalam kasus seperti ini, seluruh biaya hidup anak dari mulai makan, minum, tempat tingal, dan berbagai kebutuhan lainnya harus dibiayai oleh orangtua.
Dalam kenyataannya, pembiayaan pendidikan seorang santri umumnya bersumber dari biaya pribadi (private cost), yaitu pengeluaran orangtua atau keluarga untuk mendanai pendidikan anak-anaknya (household expenditure). Berbeda dengan lembaga pendidikan persekolahan, dalam konteks pesantren, private cost ini merupakan sumber pembiayaan pendidikan yang sangat dominan. Artinya, peranan pemerintah dalam pembiayaan pendidikan santri jauh lebih kecil dibanding dengan pembiayaan atau belanja yang disediakan dan dikeluarkan pemerintah untuk siswa sekolah. Padahal, dalam kenyataannya, total biaya yang dibutuhkan seorang santri agar memungkinkannya untuk nyantri di pondok pesantren adalah lebih besar bila dibanding dengan rekan-rekan mereka yang mengikuti proses pendidikan di lembaga pendidikan persekolahan. Hal itu dikarenakan, seorang santri harus meninggalkan rumah orangtuanya dan tingal menetap atau mondok di pesantren untuk waktu sekian lama. Tentu saja berbagai konsekuensi pembiayaan harus ditanggung oleh orangtua atau santri sendiri.
Selama ini, studi-studi tentang pembiayaan pendidikan cenderung hanya berfokus pada: Pertama, tataran makro pembiayaan, seperti sumber-sumber pembiayaan negara untuk pendidikan atau besarnya persentase biaya pendidikan yang dialokasikan pemerintah dalam APBN. Sedangkan kajian dan telaah tentang pembiayaan pendidikan pada pondok pesantren, apalagi satuan biaya riil atau unit cost per santri masih jarang dilakukan. Kedua, kajian atau telaah tersebut seringkali mengabaikan private cost yang bersumber dari orangtua atau santri -- seakan-akan diangap kurang penting -- tidak sepenting dana yang dikeluarkan pemerintah atau negara dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan sekolah. Ketiga; kajian tersebut juga kurang komprehensif, dikarenakan tidak sampai menghitung secara riil besaran unit cost yang harus dikeluarkan seorang peserta didik untuk membiayai seluruh pendidikannya. Telaah tersebut umumnya hanya menghitung jumlah dana yang dikucurkan pemerintah ke sekolah dengan cara membagi dana total dalam anggaran pendidikan (di tingkat nasional atau daerah) dengan jumlah sekolah atau siswa yang di dalamnya tercakup gaji guru dan tenaga kependidikan, biaya operasional dan pemeliharaan, dan biaya penyelenggaraan proses pembelajaran.
Selain hal-hal di atas, fokus kajian atau telaah tentang pembiayaan pendidikan juga seringkali hanya berfokus pada pendidikan persekolahan, seperti SD, SLTP, atau SLTA. Kajian dan telaah tentang pembiayaan pendidikan pada pondok pesantren, apalagi pada level besaran satuan biaya unit cost santri, masih sangat jarang dilakukan. Kecenderungan tersebut menyebabkan tidak tersedianya data yang akurat dan komprehensif tentang besaran biaya yang harus dikeluarkan santri untuk menyelesaikan pendidikannya pada suatu pondok pesantren. Pada satu sisi, dampak dari kecenderungan ini adalah tidak tersedianya rujukan bagi orangtua untuk mengalokasikan dana guna membiayai pendidikan anaknya di pesantren. Kemudian pada sisi lain, pemerintah juga mengalami kesulitan untuk menghitung berapa sebenarnya besaran dana yang idealnya harus dialokasikan bagi mendukung pelaksanaan pendidikan pada pondok pesantren, khususnya bagi mendorong peningkatan mutu atau kualitas pendidikan. Hal ini bisa mendorong bagi munculnya ketimpangan dalam pembiayaan pendidikan dimana konstribusi pemerintah proporsinya lebih kecil dibanding orangtua atau masyarakat. Padahal, sesuai dengan pasal 31 UUD 1945, pendidikan merupakan amanah konstitusi yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah.
Kenyataan dan kecenderungan di atas sebenarnya merupakan dasar pemikiran yang cukup kuat bagi perlu dilakukannya penelitian tentang unit cost santri pada Pondok Pesantren di Sumatera Utara.
Rumusan Masalah
Berdasar latar masalah di atas, maka secara umum rumusan masalah penelitian ini adalah berapakah besaran riil unit cost santri pada pondok pesantren di Sumatera Utara? Secara khusus, rumusan masalah tersebut dapat dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan berikut: (1) dari manakah sumber pembiayaan pondok pesantren Sumatera Utara, (2) komponen apa saja yang harus didanai atau dibelanjakan dalam membiayai penyelenggaraan pendidikan pondok pesantren, dan (3) berapakah besaran riil unit cost atau satuan biaya per santri yang dikeluarkan orangtua untuk mendanai seluruh komponen pembiayaan pendidikan santri pada pondok pesantren Sumatera Utara?
Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data yang akurat dan komprehensif tentang unit cost atau angka satuan biaya santri pondok pesantren Sumatera Utara. Sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) sumber-sumber pembiayaan pendidikan pondok pesantren Sumatera Utara, (2) komponen apa saja yang harus dibiayai atau dibelanjakan oleh pondok pesantren Sumatera Utara, dan (3) berapakah besaran riil unit cost atau satuan biaya persantri yang dikeluarkan atau dibelanjakan orangtua untuk mendanai seluruh komponen pembiayaan pendidikan santri pada pondok pesantren di Sumatera Utara.
Kegunaan Penelitian
Secara teoritik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi merumuskan konsep-konsep teoritis tentang ekonomi pembiayan pendidikan pesantren. Sedangkan secara praktis, temuan penelitian ini diharapkan berguna: (1) sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan pemberian bantuan atau subsidi dalam mendukung pelaksanaan pendidikan pada pondok pesantren, (2) bagi pimpinan umum atau kyai pesantren, penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dalam menghitung berapa besar kemungkinan biaya yang diperlukan bagi peningkatan mutu pendidikan pesantren dan pemberian subsidi kepada santri, merumuskan model pengunaan unit cost santri yang efektif dan efesien, dan menemukan strategi bagi diversivikasi sumber-umber keuangan atau pembiayaan pondok pesantren di masa depan, dan (3) bagi masyarakat atau orangtua santri, penelitian ini diharapkan bisa memberikan data yang akurat tentang besaran riil dana yang harus disiapkan bagi mendukung pelaksanaan pendidikan anak dalam menyelesaikan studi di pondok pesantren.
Metodologi Penelitian
1. Desain Penelitian
Penelitian ini mengunakan mode of inquiry quantitative non-experimental yakni jenis penelitian yang bertujuan … describe something that occurred …without any direct manipulation of conditions that are experienced.[1] Pendekatan mode of inquiry non-experimental yang digunakan dalam penelitian ini adalah survai, yakni penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data pokok.[2]
Jenis survai yang dilakukan dalam penelitian ini adalah survey explorative atau penjajagan. Hal ini dilatari oleh belum tersedianya data-data yang akurat dan formal berkenaan dengan topik yang distudi. Karena itu, survai ini dimaksudkan untuk melakukan pengumpulan data dan penghitungan yang cermat terhadap unit cost santri pondok pesantren di Sumatera Utara.
2. Sampel Studi
Dalam penelitian ini, pondok pesantren yang dipilih sebagai sampel area sebanyak 14 (empatbelas) pondok pesantren yang tersebar pada tujuh wilayah kabupaten/kota propinsi Sumatera Utara, yaitu (1) kota Medan, (2) kabupaten Deli Serdang, (3) kabupaten Langkat, (4) kabupaten Simalungun, (5) kabupaten Labuhan Batu, (6) kabupaten Tapanuli Selatan, dan (7) kabupaten Mandailing Natal (Madina). Dari seluruh sample area tersebut, masing-masing diambil dua pondok pesantren sebagai sample studi. Penentuan sampel dilakukan dengan teknik random. Berdasarkan teknik ini, maka pondok pesantren yang terpilih sebagai sampel studi adalah sebagai berikut:
Tabel 1: Lokasi dan nama pondok pesantren sampel studi
No
Kota/Kabupaten
Nama Pondok Pesantern
01.
Kota Medan
o P P Al-Kautsar Al-Akbar
o P P Raudhatul Hasanah
02.
Kabupaten Deli Serdang
o P P Darul Arafah
o P P Hidayatullah
03.
Kabupaten Langkat
o P P. Babussalam
o P P Ulumul Qur’an
04.
Kabupaten Simalungun
o P P Luqman
o P P Muh. Darul Arqam
05.
Kabupaten Labuhan Batu
o P P Ahmadul Jariah
o P P Al Ma`sum
06.
Kabupaten Tapanuli Selatan
o P P Purbangal Sosopan
o P P Al-Mukhtariyah
07
Kabupaten Mandailing Natal
o P P Musthafawiyah
o P.P Ma`had Darul Ikhlas

Dari seluruh sampel studi di atas, santri yang dijadikan sebagai responden dalam penelitian survai ini seluruhnya berjumlah 185 orang. Kecuali Pondok Pesantren Musthafawiyah Purbabaru kabupaten Madina, dari masing-masing jenjang pendidikan, diambil 10 (sepuluh) orang santri sebagai responden, yang terdiri dari 5 (lima) orang laki-laki dan 5 (lima) perempuan. Sedangkan dalam kasus pondok pesantren kabupaten Madina, jumlah responden yang diambil sebanyak 65 orang santri yang terdiri dari 30 laki-laki dan 35 perempuan.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian ini adalah kuesioner yang berisikan sejumlah pertanyaan tertulis berkenaan dengan unit cost santri pondok pesantren. Bentuk kuesioner yang digunakan adalah angket semi terbuka (open-ended questionare). Bentuk ini sengaja dipilih untuk memberi peluang atau kesempatan kepada responden guna memilih atau menuliskan sendiri secara langsung jawaban tambahan[3] ketika beberapa alternatif jawaban yang disediakan belum atau tidak sesuai dengan keadaan responden yang sesungguhnya. Dengan demikian, terbuka peluang yang lebih besar untuk menjarung data yang lebih mendalam dan akurat.
Sumber Data
Data penelitian ini dijaring dari berbagai sumber, yaitu pimpinan atau kepala satuan pendidikan jenjang MTs dan MA pondok pesantren, divisi logistik/ kepala asrama/ pengurus koperasi pondok pesantren, bendahara/ direktur keuangan pondok pesantren, dan para santri pondok pesantren.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Setelah seluruh data berhasil dikumpulkan, maka teknik pengolahan data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif, yaitu mentransformasikan seluruh data tentang unit cost santri ke dalam susunan yang dapat menggambarkan atau mencirikan unit cost santri suatu pondok pesantren dari seluruh pondok pesantren yang diteliti. Untuk itu akan digunakan tabel-tabel distribusi frekuensi (distribution frequency). Hal ini selain dimaksudkan untuk mempermudah penyajian dan interpretasi data, juga untuk memudahkan para pembaca dalam memahami temuan penelitian. Selanjutnya, untuk mendeskripsikan secara lebih rinci unit cost santri maka digunakan pengukuran tendensi sentral dengan mengunakan nilai rerata (mean).

Temuan Penelitian
1. Sumber-Sumber Pembiayaan Pondok Pesantren
Berdasarkan hasil studi ditemukan bahwa sumber-sumber pembiayaan pondok pesantren Sumatera Utara bervariasi. Secara umum, sumber-sumber tersebut dapat dibedakan kepada dana yang berasal dari: (10 pemerintah, (2) orangtua atau keluarga santri, (3) yayasan, (4) infaq, waqaf masyarakat, dan (5) usaha mandiri pondok pesantren.
Untuk jenjang Tsanawiyah, kecuali Madina, sumber pembiayaan terbesar pondok pesantren diterima dari orangtua santri, kemduian pemerintah dalam bentuk dana BOS,dan akhirnya usaha mandiri pondok pesantren. Dalam kasus Madina, sumber pembiayaan terbesar diperoleh dari pemerintah melalui dana BOS. Kemudian, dari 14 pesantren yang distudi, hanya pondon pesantren Simalungun dan Labuhan Batu yang memperoleh sumber pembiayaan dari yayasan dan infaq/waqaf donatur. Sementara itu, dari seluruh pesantren yang distudi, hanya pondok pesantren Ulumul Qur’an kabupaten Langkat yang menerima kucuran dana dari pemerintah kabupaten.
Tidak berbeda dengan Tsanawiyah, pada jenjang Aliyah, sumber pembiayaan terbesar pondok pesantren juga diperoleh dari dana orangtua santri melalui SPP dan konsumsi, baru kemudian dana pemerintah melalui Bantuan Khusus Murid (BKM). Dalam kasus ini, satu-satunya pondok pesantren yang memperoleh sumber pembiayaan dari pemerintah kota adalah pondok pesantren Ulumul Qur’an di kabupaten Langkat. Secara spesifik, sumber-sumber pembiayan pondok pesantren Sumatera Utara berdasarkan jenjang MTs dan MA dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2: Sumber-Sumber Pembiayaan MTs Pondok Pesantren Sumatera Utara/ tahun
No
Sumber Dana
Medan
Deli Serdang
Langkat
Kota
Pinggir
Kota
Pinggir
1
Pemerintah melalui BOS
318.500.000.-
21.870.000.-
53.866.867.-
13.365.000.-
2
Pemko/Pemda
-
-
12.500.000.-
-
3
Dana Komite melalui SPP/Konsumsi
3.038.310.000.-
2.308.500.000.-
676.200.000.-
376.200.000.-
4
Yayasan
-
-
-
10.000.000.-
5
Infaq/Wakaf/Donatur
-
-
-
-
6
Usaha Pesantren
1.Koperasi
2. Perkebunan
3.Peternakan
4. lain-lain

84.000.000.-

-
112.000.000.-
-
66.000.000.-

3.600.000.-
24.000.000.-
-
8.000.000.-

-
12.000.000.-
-
-
Jumlah
3.440.810.000.-
2.508.370.000.-
778.166.867.-
411.565.000.-
No
Sumber Dana
Simalungun
Madina
Labuhan Batu
Tapanuli Selatan
Pinggir
Pinggir
Pinggir
Pinggir
1
Pemerintah melalui BOS
10.192.000.-
418.280.500.-
98.670.000.-
64.350.000.-
2
Pemko/Pemda
-
-
-
-
3
Dana Komite melalui SPP/Konsumsi
165.600.000.-
301.125.000.-
897.000.000.-
691.400.000.-
4
Yayasan
21.500.000.-
-
5.000.000.
-
5
Infaq/Wakaf/Donatur
6.000.000.-
-
-
-
6
Usaha Pesantren
1.Koperasi
2. Perkebunan
3.Peternakan

2.400.000.-
25.000.000.-
-

7.900.000.-
-
-

1.800.000.-
30.000.000.-
-

-
-
-
Jumlah
230.692.000.-
727.305.500.-
1.032.470.000.-
755.750.000.-
Tabel 3: Sumber-Sumber Pembiayaan Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Sumatera Utara/tahun
No
Sumber Dana
Medan
Deli Serdang
Langkat
Kota
Pinggir Kota
Kota
Pinggir Kota
1
Pemerintah melalui BKM
-
-
15.990.000.-
12.480.000.-
2
Pemko/Pemda
-
-
10.000.000.-
-
3
Dana Komite melalui SPP/Konsumsi
2.747.010.000.-
1.687.140.000.-
382.200.000.-
223.440.000.-
4
Yayasan
-
-
-
-
5
Infaq/Wakaf/Donatur
-
-
-
-
Jumlah
2.747.010.000.-
1.687.140.000.-
408.190.000.-
235.920.000.-
sambungan
No
Sumber Dana
Simalungun
Madina
Labuhan Batu
Tapanuli Selatan
Pinggir kota
Pinggir kota
Pinggir kota
Pinggir kota
1
Pemerintah melalui BKM
13.650.000.-
-
-
34.320.000.-
2
Pemko/Pemda
-
-
-
-
3
Dana Komite melalui SPP/Konsumsi
147.840.000.-
492.400.000.-
1.185.000.000.-
491.400.000.-
4
Yayasan
-
-
-
-
5
Infaq/Wakaf/Donatur
-
-
-
-
Jumlah
161.490.000.-
492.400.000.-
1.185.000.000.-
525.720.000.-

2. Pengeluaran/ Belanja Rutin Pondok Pesantren
Berdasarkan hasil studi diketahui bahwa ada delapan komponen pengeluaran atau belanja rutin pondok pesantren, yaitu: (1) gaji, (2) belanja ATK, (3) langganan daya dan jasa, (4) kegiatan belajar-mengajar, (5) pemeliharaan dan perawatan gedung dan sarana, (6) pembinaan dan peningkatan kualitas guru, (7) konsumsi santri dan guru, dan (8) pengeluaran lain-lain, seperti biaya porseni, ekstra kurikuler, dan insentif guru.
Secara umum, ada dua komponen yang menyedot dana terbesar yang harus dibiayai pondok pesantren, yaitu gaji dan konsumsi santri-guru. Dalam konteks ini, untuk jenjang MTs, komonen pembiayaan terbesar pertama yang harus dibiayai pondok pesantren kota Medan, Deli Serdang, dan Langkat adalah konsumsi santri-guru yang berturut-turut diikuti oleh komponen gaji, biaya KBM, dan komponen lainnya. Berbeda dengan itu, komponen pembiayaan terbesar yang menempati posisi pertama yang harus dibiayai oleh pondok pesantren Simalungun, Labuhan Batu, Tapanuli Selatan, dan Madina adalah gaji yang diikuti berturut-turut oleh konsusmi santri-guru, biaya KBM, dan komponen lainnya.
Untuk jenjang MA, pengeluaran rutin terbesar pertama yang harus didanai pondok pesantren kota Medan, langkat, Deli Serdang dan Simalungun adalah konsumsi, dan dikuti berturut-turut oleh komponen gaji, biaya KBM, langganan daya dan jasa, dan komponen lainnya. Sedangkan untuk pondok pesantren Labuhan Batu, Tapanuli Selatan, dan madina, posisi pertama ditempati komponen gaji kemudian konsumsi santri-guru, biaya KBM, dan komponen lainnya.

3. Pengeluaran/ Belanja Orangtua Santri
a. Pengeluaran Awal Tahun Ajaran
Ada dua komponen terbesar yang harus didanai orangtua atau keluarga santri ketika awal taun anaknya mendaftar atau masuk ke pondok pesantren, yaitu: (1) uang pangkal atau uang pembangunan, dan (2) konsumsi makan-minum. Untuk jenjang MTs, bagi orangtua yang mendaftarkan anaknya ke pondok pesantren kota Medan, Deli Serdang, Langkat, dan Simalungun, uang pangkal merupakan komponen biaya terbesar yang harus mereka bayar, kemudian diikuti oleh pakaian seragam dan badah, pembelian kitab dan buku pelajaran, konsumsi, uang saku, alat pembelajaran, dan komponen lainnya. Sementara itu, untuk kabupaten Labuhan Batu dan Tapanuli Selatan, komponen terbesar pertama yang harus dibiayai orangtua adalah konsumsi atau makan-minum santri, keudan diikuti secara berturut-turut oleh pembelian pakaian (seragam, ibadah, dan olah raga), pembelian kitab atau buku pelajaran, uang pangkal, pondokan santri, uang saku, dan komponen lainnya.
Hampir sama dengan MTs, untuk jenjang MA, bagi orangtua yang memeprcayakan pendidikan anaknya ke pondok pesantren kota Medan, deli Serdang, Langkat, dan Simalungun, komponen terbesar yang harus mereka biayai pada awal tahun ajaran adalah uang pangkal. Komponen berikutnya yang menempati posisi ekdua adalah pembelian pakaian seragam, ibadah, dan olah raga, dikuti oleh komponen pembelian kitab atau buku pelajaran, konsusi santri, penyediaan alat pemblajaran, uang saku dan komponen lainnya. Berbeda dengan itu, untuk pondok pesantren kabupaten Madina, pmbelian kitab merupakan komponen pembiayaan terbesar yang harus didanai orangtua santri, diikuti oleh biaya konsumsi, pembelian pakaian dan alat pembelajaran, uang saku, uang pangkal, dan komponen lainnya. Untuk pondok pesantren Tapanuli Selatan, konsumsi santri merupakan komponen pembiayaan terbesar pertama yang harus dibayai orangtua santri. Posisi tersebut secara berturut-turut dikuti oleh komponen pembelaian pakaian seragam, pembelian kitab, pakaian ibadah, dan komponen lainnya. Sementara itu, untuk pondok pesantren Labuhan Batu, pembelian pakaian seragam, ibadah, dan olah raga merupakan komponen terbesar yang harus dibiayai orangtua santri, yang kemudian diikuti oleh konsumsi, uang pangkal, perlengkapan pembelajaran, pemondokan, uang saku, dan komponen lainnya.
Dapat dikemukakan bahwa awal tahun ajaran merupakan amsa dimana orantua santri harus mengeluarkan dana dalam jumlah terbesar untuk membiayai pendidkan anaknya di pondok pesantren. Dari seluruh sampel yang distusi, pondok pesantren kota Medan menempati rangking pertama dengan rata-rata total biaya sebesar Rp. 3.383.000,- untuk jenjang MTs dan Rp. 3.433.000,- untuk jenjang MA. Possi tersebut berturut-turut diikuti oleh pondok pesantren Deli serdang dengan Rp. 2.084.500,- untuk jenjang MTs dan Rp. 2.119.500,- untuk jenjang MA; Labuhan Batu sebesar Rp. 1.520.000 ntk jenjang MTs dan Rp. 1.723.500,- untuk jenjang MA; Langkat sebesar Rp. 1.417.000,- untuk jenjang MTs pesantren kota dan Rp. 1.241.500,- untuk MTs pesantren pinggir kota serta sebesar Rp. 1.677.000,- untuk jeang MA pesantren kota dan Rp. 1.396.500,- untuk jenjang MA pinggir kota; Tapanuli Selatan sebesar Rp. 1.282.500,- untuk jenjang MTs dan Rp. 1.385.500,- untuk jenjang MA; dan posisi terakhir ditempati pondok pesantren Simalungun sebesar Rp. 1.213.000,- untuk jenjang MTs dan Rp. 1.326.500,- untuk jenjang MA
b. Pengeluaran Rutin Bulanan
Berdasarkan ahsil studi diketahui bahwa besaran biaya perbulan yang secara berkelanjutan harus dibelanjakan orangtua ke pondok pesantren sangat variatif. Untuk kota Medan, untuk jenjang MTs, kompoinen belanja terbesar adalah uang saku santri (Rp. 200.000,-), yang kemudian diikuti oleh konsumsi (Rp. 192.500,-), SPP (Rp. 110.000,-), biaya pondokan/ asrama (Rp. 65.000,-), dan cuci pakaian (Rp. 45.000,-). Sedangkan untuk pondok pesantren lainnya, komponen pembiayaan terbesar yang harus dikeluakan orangtua santri adalah konsumsi makan-minum santri (antara Rp. 125..000,- terendah sampai Rp. 200.000,-), kemudian berturut-turut uang saku (antara Rp. 60.000,- terendah sampai Rp. 100.000,-), biaya asrama ((antara Rp. 20.000,- terendah sampai Rp. 80.000,-), SPP (antara Rp. 15.000,- terendah sampai 50.000,-) dan cuci pakaian (antara Rp. 20.000,- terendah sampai Rp. 40.000,-).
Untuk jenjang MA, total pengeluaran terbesar orangtua santri perbulan ditempati oleh pondok pesantren kota Medan, yaitu sebesar Rp. 627.500,-. Posisi ini berturut-turut diikuti oleh pondok pesantren Deli Serdang sebesar Rp. 447.500,-, Labuhan Batu sebesar Rp. 450.000,-, Tapanuli Selatan sebesar Rp. 392.500,-, Madina sebesar Rp. 381.500,-, Langkat kota sebesar Rp. 330.000,-, Simalungun sebesar Rp. 320.000,-, dan akhirnya Langkat pinggir kota sebesar Rp. 300.000,-.
Bila dirinci, pengeluaran bulanan orangtua santri terbesar untuk pondok pesantren kota Medan ditempati oleh komponen uang saku (Rp. 200.000,-), konsumsi santri (Rp. 192.500,-), SPP (Rp. 125.000,-), biaya asrama (Rp. 65.000,-), dan cuci pakaian (Rp. 45.000,-). Sedangkan untuk pondok pesantren Deli Serdang, komponen terbesar pengeluaran bulanan orangtua santri ditempati oleh konsumsi (Rp. 187.500,-), uang saku (Rp. 100.000,-), SPP (Rp. 70.000,-), asrama atau pondokan (Rp. 50.000,-), dan cicu pakaian (Rp. 40.000,-). Untuk pondok pesantren Labuhan Batu, pengeluaran rutin buanan orangtua santri terbesar ditempati berturut-turut oleh konsumsi (Rp. 200.000,-), pondokan (Rp. 80.000,-), uang saku (Rp. 75.000,-), SPP (Rp. 50.000,-), dan cuci pakaian (Rp. 45.000,-). Kemudian untuk pondok pesantren Tapanuli Selatan, posisi pertama pengeluaran rutin bulanan orangtua santri berturut-turut ditempati oleh konsumsi (Rp. 200.000,-), pondokan (Rp. 75.000,-), uang saku santri (Rp. 62.500,-), cuci pakaian (Rp. 40.000,-), dan terakhir SPP (Rp. 15.000,-). Selanjutnya untuk pondok pesantren Madina, posisi terbesar pengeluaran rutin bulanan orangtua berturut-turut ditempati oleh konsumsi (Rp. 180.000,-), uang saku (Rp. 100.000,-), pondokan (Rp. 40.000,-), cuci pakaian (Rp. 40.000,-), dan SPP (Rp. 15.000,-). Seterusnya untuk pondok pesantren Langkat kota, posisi pengeluaran bulanan pertama ditempati oleh konsumsi (Rp. 130.000,-), kemudian berturut-turut uang saku (Rp. 60.000,-), SPP (Rp. 45.000,-), pondokan (Rp. 30.000,-), dan biaya transportasi (Rp. 25.000,-). Sedangkan untuk pondok pesantren Simalungun, pengeluaran rutin bulanan orangtua santri berturut-turut ditempati oleh komponen konsumsi (Rp. 125.000,-), uang saku (Rp. 75.000,-), pondokan (Rp. 45.000,-), cuci pakaian (Rp. 40.000,-), dan SPP (Rp. 35.000,-). Akhirnya, untuk pondok pesantren Langkat pinggir kota, pengeluaran rutin bulanan terbesar pertama ditempati oleh komponen konsusmi (Rp. 170.000,-), kemudian berturut-turut uang saku (Rp. 50.000,-), cuci pakaian (Rp. 40.000,-), SPP (Rp. 20.000,-) dan pondokan (Rp. 20.000,-).
Berdasarkan data di atas, bila biaya rutin perbulan dijumlahkan, maka rata-rata belanja rutin yang harus dikeluarkan orangtua pertahun untuk membiayai anak mereka yang nyantri di pondok pesantren adalah sebagaimana tertera pada tabel berikut:
Tabel 4: Rata-rata pengeluaran rutin orangtua santri pondok pesantren Sumatera Utara/ tahun
No
Kabupaten/Kota
Jumlah Pengeluaran/ Pembiayaan (Rp)
Tsanawiyah
Aliyah
1
Medan
7.530.000,-
7.530.000,-
2
Labuhan Batu
5.340.000,-
5.400.000,-
3
Deli Serdang
5.130.000,-
5.370.000,-
4
Tapanuli Selatan
4.860.000,-
4.710.000,-
5
Mandailing Natal
4.500.000,-
4.578.000,-
6
Simalungun
3.720.000,-
3.840.000,-
7
Langkat
3.510.000,-
3.780.000,-
Rata-Rata
4.221.429,-
5.029.714,-

Pembahasan Hasil Penelitian
Berkaitan sumber-sumber pembiayaan pondok pesantren dapat dikemukakan bahwa baik pada jenjang MTs maupun MA, orangtua santri merupakan sumber utama terbesar bagi pembiayaan penyelenggaraan pendidikan pada pondok pesantren di Sumatera Utara. Untuk jenjang MTs, konstribusi terbesar orangtua terdapat di Deli Serdang, yaitu sebesar 92,03%, kemudian dikuti berturut-turut oleh Tapanuli Selatan sebesar 91,49%, Langkat sebesar 91,40% untuk pesantren pinggir kota dan 86,89% untuk pesantren kota, pesantren kota Medan sebesar 88,3%, Simalungun 71,78%, dan posisi terakhir Madina sebesar 41,97%.
Berkaitan dengan sumber pembiayaan pemerintah, pondok pesantren yang paling banyak menerima dana dari pemerintah adalah kabupaten Madina, yaitu sebesar 57,51%, diikuti kemudian oleh Labuhan Batu sebesar 9,86%, Medan sebesar 9,25%, pesantren kota di Langkat sebeaar 8,54%, Tapanuli Selatan sebesar 8,51%, Simalungun sebesar 4,86%, pesantren Langkat pinggir kota sebesar 3,26%, dan akhirnya Deli serdang sebesar 0,87%. Umumnya seluruh dana pemerintah tersebut berasal dari satu sumber, yaitu bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Pada jenjang Aliyah, sumber-sumber pembiayaan terbesar seluruh pondok pesantren juga berasal dari orangtua santri yang umumnya diperoleh dari dana SPP dan konsumsi santri. Dalam kasus ii, pondok pesantren kota Medan, Deli serdang, Labuhan batu, dan Madina merupakan pondok pesantren yang 100% sumber pembiayan pendidikan jenjang MA berasal dari dana SPP dan konsumsi santri yang dibayarkan orangtua ke pesantren. Pondok pesantren kota Medan menempati rangking pertama sebagai pesantren yang lebih banyak menyedot dana dari orangtua santri, yaitu rata-rata sebesar Rp. 2.747.010.000,-/ semester. Posisi ini kemudian diikuti pondok pesantren Deli Serdang, yaitu rata-rata Rp. 1.687.140.000,-/ semester, Labuhan Batu sebesar Rp. 1.185.000.000,-/ semester, Madina sebesar Rp. 492.400.000,-/ semester, Tapanuli Selatan sebesar Rp. 491.400.000,-/ semester, Langkat dengan nominal Rp. 382.200.000,-/ semester untuk tpologi pesantren kota, dan Rp. 223.440.000,-/ semester untuk pesantren pinggir kota, dan akhirnya Simalungun sebesar Rp. 147.840.000,-/ semester.
Berdasarkan temuan penelitian ini dapat dikemukakan bahwa sampai saat ini, pemerintah ternyata belum berkonstribusi besar bagi pendanaan atau pembiayaan pendidikan pondok pesantren. Sementara itu, masyarakat dan sumber-sumber funding pendidikan lain juga belum begitu berkonstribusi besar bagi membiayai penyelenggaraan pendidikan pondok pesantren di Sumatera Utara. Berdasarkan hasil studi, hanya ada dua pondok pesantren yang berhasil memperoleh dukungan dana atau pembiayaan dari masyarakat dalam bentuk infaq, yaitu pondok pesantren Hidayatullah yang berada di kabupaten Deli Serdang dan Ma`had Darul Ikhlas di kabupaten Madina.
Bila ditilik dari sisi persentase belanja atau pengeluaran, kecuali Madina, umumnya belanja non gaji merupakan komponen pembiayaan terbesar yang didanai pondok pesantren, baik pada jenjang MTs maupun MA. Dalam kasus madina, sebesar 71,30% dana yang diperoleh dibelanjakan untuk membiayai komponen gaji dan 28,70% untuk non gaji. Berbeda dengan itu, Deli Serdang menempati posisi pertama sebagai pesantren yang mengalokasikan dana paling besar untuk membiayai komponen non gaji, yaitu sebesar 81,38%. Posisi tersebut berturut-turut ditempati oleh Langkat kota sebesar 80,89%, Medan sebesar 74,57%, Langkat pinggir kota sebesar 72,29%, Simalungun sebesar 59,30%, Labuhan batu sebesar 55,08%, dan akhirnya Tapanuli Selatan sebesar 54,69%.
Kemudian, bila ditilik dari besarnya presentase dana yang ahrus dikeluarkan orangtua santri, maka komponen lain-lain (uang saku, pondokan, cuci pakaian, transportasi) selalu menempati rangking pertama yang diikuti oleh komponen SPP dan biaya konsumsi.
Hal yang menarik dari data di atas adalah bahwa pengeluaran orangtua santri rata-rata/ bulan ternyata elbih besar pada pondok pesantren pinggir kota bila dibanding dengan pesantren kota. Untuk jenjang MTs, pengeluaran terbesar orangtua/ bulan adalah untuk konsumsi. Dalam hal ini, pondok pesantren yang menempati rangking pertama adalah pesantren pinggir kota di kabupaten Langkat (60,71%), diikuti oleh Tapanuli Selatan (49,38%), madina (48%), Deli Serdang (43,85%), Langkat kota (42,62%), dan di posisi akhir Simalungun (40,32%). Khusus Medan, pengeluaran terbesar orangtua santri/ bulan ada pada komponen lain-lain, yaitu sebesar 50,63%. Begitupun, pada jenjang MTs, pengeluaran rata-rata orangtua santri/ bulan untuk keperluan lain-lain juga lebih besar pada pondok pesantren pinggir kota dibanding pesantren kota. Alam kasus ini, pondok pesantren pinggir kota di kabupaten Simalungun menempati rangking pertama, yaitu sebesar 51,62%.
Sama halnya dengan jenjang MTs, pada jenjang MA, pengeluaran terbesar orangtua santri juga pada komponen komsumsi dan keperluan lain-lain. Untuk konsumsi, rata-rata pengeluaran orangtua/ bulan juga lebih besar pada pesantren pinggir kota. Dalam hal ini, posisi tertinggi ditempati oleh pondok pesantren pinggir kota di kabupaten Langkat, yaitu sebesar 56,67%. Posisi tersebut secara berturut diikuti oleh Tapanuli Selatan sebesar 50,96%, dan Labuhan Batu sebesar 44,44%. Sedangkan untuk keperluan lain-lain, rangking pertama ditempati pondok pesantren kabupaten Simalungun (50,01%), Medan (49,40%), Madina (47,18%), Langkat kota (46,97%), Tapanuli selatan (45,22%), Labuhan Batu (44,44%), Deli serdang (42,47%), dan akhirnya Langkat pinggir kota (36,66%).
Berdasarkan data di atas, bila dihitung, maka besaran riil unit cost santri per bidang studi/ bulan untuk jenjang MTs adalah sebesar Rp. 7.857,14,- untuk pondok pesantren kota Medan, Rp. 3.571,42,-, untuk pondok pesantren Deli Serdang dan Labuhan Batu Rp. 3.214,28,-, untuk pondok pesantren kota di kabupaten Langkat Rp. 1.785,71,-, untuk untuk pondok pesantren Simalungun Rp. 1.428,57,-, untuk untuk pondok pesantren pinggir kota di kabuaten Langkat Rp. 1.071,42,- untuk pondok pesantren Tapanuli Selatan, dan Rp. 714,28,- untuk pondok pesantren Madina.
Sedangkan untuk jenjang MA, rata-rata unit cost santri/ bidang studi/ bulan berturut-turut adalah sebesar Rp. 8.928,57,- untuk pondok pesantren kota Medan, Rp. 5.000,- untuk pondok pesantren di kabupaten Deli Sedang, Rp. 3.571,71,- untuk pondok pesantren kabupaten Labuhan Batu, Rp. 3.214,28 untuk pondok pesantren kota di kabupaten Langkat, Rp. 2.500,- untuk pondok pesantren di kabupaten Simalungun, Rp. 1.535,71,- untuk pondok pesantren Madina, Rp. 1.428,57,- untuk pondok pesantren Langkat pinggir kota, dan Rp. 1.071,42 untuk pondok pesantren kabuaten Tapanuli Selatan.
Akhirnya, besaran riil rata-rata unit cost santri untuk konsumsi/ hari, rangking pertama ditempati pondok pesantren kota Medan dengan nominal Rp. 6.416,66,- dan posisi kedua oleh Deli Serdang dan Labuhan Batu (sama-sama sebesar Rp. 6666, 67,-), ketiga pondok pesantren kabupaten Deli Serdang sebesar Rp. 6.250,-, keempat ditempati oleh pondok pesantren Madina sebesar rp. 6.000,- dan posisi kelima dan keenam ditempati oleh pondok pesantren kabuaten Langkat sebesar Rp. 5.666,67,- (pinggir kota) dan Rp. 4.333,33,- (kota), dan posisi ketujuh atau terakhir ditemnpati oleh pondok pesantren kabuaten Simalungun sebesar Rp. 4.166,67,-

Simpulan
Pada masa-masa awal kehadirannya, pondok pesantren mampu hidup dan berkembang dengan mengandalkan charitas dari komunitas Muslim yang setiap saat terus mengalir, baik dalam bentuk zakat, waqaf, infaq, shadaqah, dan lain-lain. Namun, dalam perkembagannya dewasa ini, sumber-sumber pembiayaan pondok pesantren sudah sangat variatif. Studi yang dilakukan terhadap 14 pondok pesantren yang tersebar pada tujuh propinsi Sumatera Utara ini menemukan bahwa secara umum terdapat lima sumber-sumber pembiayaan pondok pesantren, yaitu: (1) pemerintah, (2) orangtua atau keluarga santri, (3) yayasan, (4) infaq atau waqaf masyarakat, dan (5) usaha pondok pesantren.
Studi ini menemukan bahwa konstribusi pemerintah dan masyarakat dalam keikutsertaan membiayai pendidikan pada Pada masa-masa awal kehadirannya, pondok pesantren mampu hidup dan berkembang dengan mengandalkan charitas dari komunitas Muslim yang setiap saat terus mengalir, baik dalam bentuk zakat, waqaf, infaq, shadaqah, dan lain-lain. Namun, dalam perkembagannya dewasa ini, sumber-sumber pembiayaan pondok pesantren sudah sangat variatif. Studi yang dilakukan terhadap 14 pondok pesantren yang tersebar pada tujuh propinsi Sumatera Utara ini menemukan bahwa secara umum terdapat lima sumber-sumber pembiayaan pondok pesantren, yaitu: (1) pemerintah, (2) orangtua atau keluarga santri, (3) yayasan, (4) infaq atau waqaf masyarakat, dan (5) usaha pondok pesantren. Di Sumatera Utara masih tergolong rendah. Untuk jenjang MTs, kecuali Musthafawiyah Purbabaru Madina, konstribusi tertinggi yang diberikan pemerintah baru mencapai angka 9,86%. Untuk jenjang MA bahkan lebih memprihatinkan, dimana konstribusi tertinggi yang diberikan pemerintah baru mencapai 8,45%.
Dari seluruh sampel studi, komponen gaji dan konsumsi santri-guru merupakan unit pembiayaan terbesar pertama dan kedua yang harus dibiayai pondok pesantren. Setelah itu, baru komponen KBM, langganan daya dan jasa, peningkatan kualitas pendidik, baru komponen lainnya.
Ketika awal tahun ajaran santri masuk pesantren, uang pangkal, konsumsi santri, pengadaan pakaian seragam, ibadah dan olahraga, pembelian kitab, pengadaan alat pembelajaran, uang saku, biaya pondokan, merupakan komponen pembiayaan terbesar yang secara berurutan harus dibiayai orangtua santri. Kemudian, setelah santri mondok di pesantren, maka komponen uang saku, konsumsi, SPP, pemondokan, dan cuci pakaian merupakan komponen pembiayaan bulanan yang secara terus-menerus dibelanjakan orangtua santri.
Berdasar analisis yang dilakukan, ditemukan abhwa rata-rata seorang santri harus mengeluarkan biaya antara Rp. 7857,14,- (tertinggi) dan Rp. 714,28,- (terendah) untuk unit cost satu bidang studi yang mereka pelajari di Pada masa-masa awal kehadirannya, pondok pesantren mampu hidup dan berkembang dengan mengandalkan charitas dari komunitas Muslim yang setiap saat terus mengalir, baik dalam bentuk zakat, waqaf, infaq, shadaqah, dan lain-lain. Namun, dalam perkembagannya dewasa ini, sumber-sumber pembiayaan pondok pesantren sudah sangat variatif. Studi yang dilakukan terhadap 14 pondok pesantren yang tersebar pada tujuh propinsi Sumatera Utara ini menemukan bahwa secara umum terdapat lima sumber-sumber pembiayaan pondok pesantren, yaitu: (1) pemerintah, (2) orangtua atau keluarga santri, (3) yayasan, (4) infaq atau waqaf masyarakat, dan (5) usaha pondok pesantren.. Sedangkan untuk konsumsi harian, rata-rata seorang santri harus membelanjakan antara Rp. 6416,66,- (tertinggi) dan Rp. 4166,67,- (ternedah).

Rekomendasi
Berdasarkan data dan kesimpulan hasil penelitian sebagaimana dipaparkan di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi rekomendasi penelitian ini, yaitu:
1. Untuk menjamin kontinuitas, pengembangan, dan peningkatan kualitas pendidikannya, seluruh pondok pesantren Sumatera Utara perlu menciptakan terobosan baru dalam mencari channel of fund dari berbagai revenue atau sumber-sumber pembiayaan pendidikan potensial dan memungkinkan. Upaya tersebut bisa dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, merintis kembali pemberdayaan zakat umat Islam melalui zakat produktif di bidang pendidikan. Kedua, menjalin kemitraan atau kerjasama dengan para pengusaha atau dermawan Muslim dalam bentuk imbal jasa, seperti pondok pesantren menawarkan tenaga pembimbing atau penyuluh agama yang diperlukan masyarakat atau usahawan Muslim sementara itu para usahawan atau dermawan Muslim memberikan fundingnya ke pondok pesantren. Ketiga, merintis dan atau mengembangkan secara profesional unit-unit usaha mandiri pondok pesantren, baik perkebunan, peternakan, koperasi, perbengkelan, dan lain-lain. Untuk itu, pondok pesantren bisa menjalin kerjasama dengan para pengusaha Muslim yang bergerak dalam bidang yang sama, baik dalam hal manajemen, pembiayaan, maupun pemasaran hasil-hasilnya. Keempat, melakukan diversifikasi pembiayaan melalui jalinan kerjasama dan permohonan bantuan atau pembiayaan kepada pengusaha atau dermawan Muslim Timur Tengah atau dengan perguruan-perguruan tinggi Islam di kawasan itu. Kepada para pengusaha atau dermawan Muslim, melalui persetujuan pemerintah via Departemen Agama, pondok pesantren bisa mengajukan bantuan pendanaan pendidikan, baik melalui hibah maupun pinjaman lunak jangka panjang. Sedangkan kepada perguruan-perguruan tinggi Islam di Timur Tengah, pondok pesantren bisa mengajukan permohonan bantuan tenaga pengajar atau kitab-kitab klasik yang banyak dibutuhkan santri untuk belajar di pondok pesantren.
2. Masyarakat Muslim, khususnya pengusaha dan dermawan, pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tangung jawab penyelenggaraan pendidikan umat. Untuk itu, sangat diperlukan partisipasi nyata dan konstribusi maksimal keikutsertaan mereka dalam membiayai pendidikan pondok pesantren. Sebagai feedback, para pengusaha atau demawan Muslim bisa mengajukan permohonan bantuan tenaga pembimbing atau penyuluh agama yang mereka perlukan dari pondok pesantren.
3. Mengingat masih rendahnya konstribusi pemerintah dalam pendanaan pendidikan pada pondok pesantren Sumatera Utara, maka melalui penelitian ini diharapkan: (1) pemerintah pusat melalui Departemen Agama RI hendaknya membuat kebijakan yang terprogram untuk meningkatkan bantuan pembiayaan pendidikan pondok pesantren secara berkesinambungan, (2) pemerintah daerah tingkat satu dan dua hendaknya mencantumkan secara eksplisit alokasi dana atau bantuan pembiayaan untuk mendanai penyelenggaraan pendidikan pada pondok pesantren dalam setiap RAPBDnya secara berkelanjutan, (3) pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah hendaknya menyediakan lahan atau hak bagi pengusahaan lahan untuk perintisan maupun pengembangan usaha mandiri pondok pesantren. Dalam kerangka ini, pemerintah perlu mengkaji secara serius penerapan konsep land grand college bagi kontinuitas pendidikan pada seluruh pondok pesantren di Sumatera Utara khususnya dan Indonesia umumnya.
Penulis dosen Fakultas tarbiyah dan Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara, menyelesaikan S.3 pada PPs Uiniversitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Pustaka Acuan
Dedi Supriadi dan Fasli jalal, ‘Pendanaan Pendidikan di Indonesia dalam Dedi Supriadi dan Fasli Jalal (ed.), Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa), 2001.
Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah (Bandung: Remaja Rosdakarya), 2003.
Ditjen PUOD, Penelitian dan Pengkajian Satuan Biaya Sekolah Dasar (Jakarta: Ditjen PUOD Departemen Dalam Negeri), 1993.
D. Clark, et. al., Financing Education in Indonesia (Manila: ADB, 1998).
James H. McMillan dan Sally Schumacher, Research in Education: A Conceptual Introduction (New York:Longman, 2001)
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (ed.), Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1989)
Mintarsih Danumihardja, Manajemen Keuangan Sekolah (Studi manajemen Keuangan SLTP dalam Implementasi otonomi Daerah (Jakarta: Uhamka Press), 2004.
Moch. Idoci Anwar, Transformasi Biaya Pendidikan dalam Layanan Pendidikan pada Perguruan Tinggi Bandung (Bandung: PPs IKIP Bandung), 1990.
M. Fakhry Ghaffar, Konsep dan Filosofi Biaya pendidikan (Jakarta: Depdikbud, 1987).
Nannag Fatah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya), 2002.
Nina Toyamah dan Syaikhu Usman ‘Alokasi Anggaran Pendidikan di Era Otonomi Daerah’ Tersedia online di http://www.smeru.or.id/report . Diakses pada tanggal 4 Oktober 2006.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Nomor 22 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya
Wagiman, Pengelolaan Biaya Pendidikan dalam Menunjang Pelaksanaan Program Pengajaran di SD Negeri (studi Deskriptif tentang Pengelolaan Biaya Pendidikan di SD Negeri dalam Kodya Pekan Baru), Penelitian Tesis (Bandung: PPs IKIP Bandung), 1993.
World Bank, Indonesia: Public Expenditures, Prices, and the Poor (Washington DC: East Asia and Pacific Regional Office, Country Departemen III), 1993.

[1] James H. McMillan dan Sally Schumacher, Research in Education: A Conceptual Introduction (New York:Longman, 2001), hlm. 33.
[2] Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (ed.), Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 3.
[3] Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, ibid., hlm. 178.

Tony / Author & Editor

‘Menempuh jalan suluk’ berarti memasuki sebuah disiplin selama seumur hidup untuk menyucikan qalb dan membebaskan nafs (jiwa)

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates