Now you can Subscribe using RSS

Submit your Email

Tuesday, April 08, 2008

Polemik Paderi dan Penjajahan Belanda

Tony
MENJAWAB TUDINGAN; ISLAM DISEBARKAN DENGAN KEKERASAN DI TANAH BATAK

Posting ini dimunculkan setelah membaca opini di beberapa situs, milis dan blog yang menuding bahwa penyebaran agama Islam di Tanah Batak dilakukan dengan kekerasan oleh kaum Paderi. Pro dan Kontra tentang hal ini hingga saat ini masih berlangsung, untuk lebih mengetahui kebenaran opini tersebut, berikut ini saya mencoba menampilkan tulisan tentang hal tersebut oleh dr H Ekmal Rusdy DT Sri Paduka (ahli waris penulis perjuangan Tuanku Tambusai, H. Mahidin Said) dimuat pada kolom OPINI diharian Riau Pos halaman 4 Edisi Selasa, 30/10-2007. Sengaja saya kutip lengkap, agar anda dapat mengambil kesimpulan secara utuh.

BENARKAH PADERI MIRIP AL-QAIDA ?
OLEH : Ekmal Rusdy

Majalah Tempo 21 Oktober 2007 memuat “…petisi ini mendesak Pemerintah Indonesia untuk membatalkan pengangkatan Tuanku Imam Bonjol sebagai pahlawan perjuangan kemerdekaan Imam Bonjol adalah Pimpinan Gerakan Wahabi Paderi. Gerakan ini memiliki aliran yang sama dengan Taliban dan Al-Qaida. Invasi Paderi ke tanah Batak menewaskan ribuan orang”. Dibagian lain pada halaman 56 dikatakan “pakaian mereka serba putih”. Persenjataannya cukup kuat. Mereka menurut Parlindungan, memiliki meriam 88 militer bekas milik tentara Napoleon yang dibeli second hand di Penang. Dua perwira Paderi dikirim belajar di Turki. Tuanku Rao, yang aslinya seorang Batak bernama Pongki Nangol-ngolan Sinambela, dikirim untuk belajar taktik Kavaleri. Tuanku Tambusai, aslinya bernama Hamonangan Harahap, belajar soalperbentengan. Pasukan Paderi juga memiliki pendidikan militer di Batusangkar.

Penulis menilai, petisi dan statemen diatas sangat sensitive dan berbahaya. Disayangkan dimuat Majalah Tempo, Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan 1964 mengarang sebuah buku berjudul “ Tuanku Rao”yang selanjutnya disanggah Hamka (1974) dalam bukunya berjudul “ Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao” setebal 364 halaman. Hamka menuding isi buku Parlindungan ini 80 persen bohong, sedangkan sisanya diragukan kebenarannya. Pasalnya setiap kali Hamka menanyakan data buku ini, Parlindungan selalu menjawab “sudah dibakar”. Selain itu Hamka pada halaman 64 mempertanyakan kebenaran berbagai isu yang dilontarkan Parlindungan. Isu yang cukup sensitive pernyataan selama 300 tahun Minangkabau telah menganut mazhab Syiah Qaramithah. Hal ini menurut Hamka dusta besar. Alasan untuk pemurnian Islam di Minangkabau ini disebut Parlindungan sebagai pembantaian bagi pengikut Syiah, sementara keluarga Kerajaan Pagaruruyung termasuk sebagai penghalang cita-cita Darul Islam, sehingga pada 1804 keluarga Istana Pagaruyung dibantai, ribuan rumah dibakar. Maka tak heran kalau referensi Parlindungan yang menggunakan bahan milik Residen Poortman ini mendapat kecaman keras dari parlemen Belanda (1985), malah Pemerintah Belanda memerintahkan untuk melarang beredarnya buku Tuanku Rao yang penuh kebohongan ini.

Poortman posisinya sama dengan Snouck Horgronje. Snouck adalah seorang rang ahli Aceh, yang informasinya diminta oleh pemerintah Belanda, sedangkan Poortman seorang Ahli Batak yang pension pada 1930 dan kembali ke Belanda. Sesungguhnya Parlindungan bukanlah sejarawan. Dia yang besar bual ini memang banyak menulis tentang Tuanku Tambusai, tapi dimana makamnya Tambusai saja dia tak tahu, malah membuat Statemen aneh yang mengatakan masyarakat Padang Lawas yakin betul Tuanku Tambusai “belum mati dan bersembunyi di Dabuan Ulu”. Atau akan muncul lagi di akhir zaman ?

Bohong Parlindungan juga terbaca dari pemutar balikan fakta dari referensi yang digunakan, misalnya yang diperolehnya dari Schnitger, seorang Antropholog Belanda, maupun JB Neuman dalam bukunya Het Panai en Bila Stroomgebied yang dimuat dalam majalah geografi kerajaan Belanda tahun 1885, 1886, 1887 menyebutkan bahwa yang disebut Tongku (maksudnya Datuk Engku atau Tuk Ongku) ini orangnya kaya dengan sifat lemah lembut, lebih memperlihatkan maksud ingin mencapai persetujuan daripada kekuatan. Bukan sebagaimana yang ditulis Tempo (21/10/07) halaman 61, sebagai tukang bantai. Dan tidak benar pula dikatakan “jika penduduk tidak serta merta mau masuk Islam akan segera dibunuh”. Memang Tuanku Tambusai tak hanya sebagai sosok perang yang paling ditakuti Belanda, karena dari berbagai medan pertempuran yang dilalui Tuanku Tambusai, sungguh cukup meyibukkan kaum penjajah, sebagaimana diucapkan D Brakel dalam bukunya De oolog in Ned. Indie, Arnheim (1985) yang menyatakan, “selama perang Paderi, dua tokoh yang menyebabkan Belanda harus berjuang keras untuk begitu lama: Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai. Tanpa kedua orang ini, peperangan bisa dihabisi dalam waktu yang lebih singkat dengan kemenangan pihak Belanda”.

Namun beliau juga adalah juga seorang ulama yang santun dalam menyiarkan agama Islam, terutama bagi yang masih menganut ke percayaan pebegu . Buku Tuanku Rao karangan Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan saja tak layak dan berbahaya untuk dibaca, bagaimana pula dengan buku kedua berjudul “Greet Tuanku Rao” yang ditulis Basyral Hamidy Harahap yang terbit September 2007 ini? Ketua Jurusan Perpustakaan UI 1965-1976 ini ingin mengoreksi tentang Tuanku Rao yang dianggap kurang tepat, tapi pada garis besarnya, ia sependapat bahkan menambahkan data kekerasan yang dilakukan Paderi. Sumber utama dari Parlindungan saja data dan faktanya sudah dibakar, sehingga selaku penulis yang terlihat bersikap ambivalens perlu kita pertanyakan kesehatan cara berpikirnya, atau sekedar mencari sensasi murahan? Bukankah penulis yang bermarga Harahap juga berkomentar miring tentang Tuanku Tambusai yang katanya bernama Hamonangan Harahap?

Nama Tuanku Tambusai didaerah Tapanuli Selatan mempunyai arti khusus, bahkan beliau disapa Ompu Baleo yang artinya Tuanku Beliau. Sekarang nama beliau diabadikan sebagai nama Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Tapsel yang kita bisa dapatkan disana tertulis PDAM Tambusai. Seharusnya adalah PDAM Tuanku Tambusai, karena Tambusai adalah nama kecamatan di Rokan Hulu. Tulisan PDAM Tambusai penulis temui di Sipirok yang kini penduduknya lebih 70 persen Islam. Disana malah ada Pondok Pesantren yang justru banyak menerima santri dari Provinsi Riau, asalnya Tuanku Tambusai.

Sebaiknya mari kita lihat kembali dengan pikiran dan wawasan yang luas, betapa nilai kejuangan jatidiri anak Melayu dari Desa Tambusai bernama Muhammad Saleh ini, sebagaimana hasil perburuan naskah sejarah para ahli di museum sejarah baik di museum nasional di Jakarta maupun di Leiden, Belanda, yang dapat terbaca lewat tulisan penulis militer Belanda yang terlibat langsung sebagai “pelaku sejarah” yaitu Gubernur Militer Michiels dan menantunya yang juga ahli strategis bernama Van Der Hart, maupun penulis Belanda seperti JB Neuman, D Brakel, EB Kielstra, HM Lange dan seorang Antropolog terkenal bernama Schnitger. Tidak ada alasan Tuanku Tambusai “tidak popular di Riau” kecuali bagi orang-orang yang “Tidak tahu bahwa dianya tidak tahu”. Semoga tulisan ini menjadi “obat” bagi yang lupa akan jasa anak jati diri Melayu ini yang untuk pertama kali telah menempatkan potret dan jati diri Anak Melayu Riau itu kedalam album nasional yang sejajar dengan suku bangsa lainnya di Indonesia dalam menegakkan NKRI yang kita cintai. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal dan mengenang jasa pahlawannya sendiri?

Tony / Author & Editor

‘Menempuh jalan suluk’ berarti memasuki sebuah disiplin selama seumur hidup untuk menyucikan qalb dan membebaskan nafs (jiwa)

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates