Now you can Subscribe using RSS

Submit your Email

Tuesday, April 08, 2008

Geneologi Keilmuan Pimpinan dan Literatur Pesantren al Mukhtariyah, Padang Lawas

Tony
Geneologi Keilmuan Pimpinan dan Literatur Pesantren

1. Geneologi Keilmuan Syekh Mukhtar dan Literatur Pesanteren.

Syekh Mukhtar, pendiri pondok Pesantren Al-Mukhtariyah, adalah seorang ulama Sumatera Utara yang hidup awal abad 20. Ia lahir tahun 1900 di desa Rondaman Lombang (sekarang berada di wilayah kecamatan Portibi Kabupaten Tapanuli Selatan). Nama kecilnya Ya’kub Harahap bin Tongku Haji Harahap. Gelar Haji Muhammad Shaleh Mukhtar diberikan kepadanya ketika melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci Mekah pada tahun 1925.

Syekh Mukhtar memulai pendidikan dasar di Sekolah Desa di Portibi (selama dua tahun). Pada usia 10 tahun berangkat ke Tanjung Pura Langkat untuk belajar agama di Madrasah Mahmudiyah yang dibina oleh Sultan Tanjung Pura. Setelah 4 tahun di Langkat, ia melanjutkan pelajarannya ke Kedah Malaysia. Di sini ia mempelajari Tafsir, Fiqh, dan Qawaid (Bahasa Arab) dari Syekh Haji Ya’kub dari tahun 1914-1920 (6 tahun). Selama 5 tahun berikutnya (1920-1925), ia belajar di Pesantren Kenali Malaysia dari Syekh M. Yusuf untuk memperdalam pengetahuan agama yang diperoleh sebelumnya.

Pengetahuan agama yang digali dari beberapa ulama di Malaysia ternyata mendorong Syekh Mukhtar untuk melanjutkan pendidikan ke Mekah. Tahun 1925 (usia 25 tahun). Ia berangkat ke Mekah memperdalam pengetahuan agama dari ulama Haramain. Di sana ia berguru kepada beberapa ulama, seperti Syekh Mukhtar Bogor, Syekh Abdul Kadir Mandily, Syekh Ali Maliki Al-Makky, Syekh Umar Bajuri Hadhramy, Syekh Abdur Rahman Makky, Syekh Umar Satha al-Makky, Syekh Muhammad Amin Madinah, Syekh Muhammad Fathani Malaya, dan Ustaz Nila.

Tidak jelas pengetahuan apa saja yang dipelajari Syekh Mukhtar selama belajar di Mekah. Namun demikian, melihat nama guru-gurunya dan bidang keilmuan kitab-kitab yang amat banyak dibawanya dari Mekah, berat dugaan ia lebih banyak mendalami disiplin bahasa, khususnya Nahwu dan Sharf, Tauhid, Fiqh, Tafsir, Hadis, dan Tasawuf.

Berdasarkan paparan di atas, penyusunan silabus atau kurikulum pengajaran di pesantren Al-Mukhtariyah pada awal berdirinya banyak mengacu pada disiplin ilmu yang dipelajari oleh Syekh Mukhtar di Langkat, Malaysia dan Mekah. Selain itu, untuk memudahkan santri mengakses kitab-kitan pelajaran, Syekh Mukhtar juga mempertimbangkan ketersediaan kitab-kitab yang ada dipasarkan di Indonesia. Satu hal dapat dipastikan, sesuai dengan kondisi perkembangan ilmu-ilmu keislaman pada saat itu di Indonesia, kitab-kitab yang dipilih sebagai bahan pelajaran di pesantren Al-Mukhtariyah adalah kitab-kitab kuning yang ditulis para ulama abad pertengahan (Lihat Lampiran).



2. Geneologi Keilmuan Musthafa Buya dan Literatur Pesantren.

Ketika Syekh Mukhtar meninggal dunia pada tahun 1948, anak-anaknya (sebanyak 6 orang) masih kecil-kecil. Anak yang paling tua, Zaharuddin Harahap, waktu itu baru berumur 15 tahun, sehingga belum bisa memimpin di pesantren Al-Mukhtariyah. Lalu, atas kesepakatan keluarga, pengasuh pesantren dipercayakan kepada Ustaz Mustafa Buya Siregar, atau yang lebih dikenal dengan Guru Dame. Sebenarnya Guru Dame bukanlah alumni dari pesantren ini, namun karena ia dipandang telah memiliki pengetahuan yang memadai, serta masih termasuk kerabat dari Syekh Mukhtar, kepadanyalah diserahkan untuk memimpin pesantren ini.

Guru Dame adalah seorang lulusan pesantren di Desa Gunung Manaon Kecamatan Padang Bolak. Ia belajar kitab-kitab kuning yang sudah standard selama 7 tahun dari guru yang sudah mumpuni di pesantren tersebut dengan sistem sorogan. Seperti halnya pesantren-pesantren yang ada di daeeah lain, bidang studi yang dipelajari Guru Dame meliputi nahwu dan sharf, fiqh, tauhid, tafsir, hadis, dan tasawuf. Jadi pengetahuan yang dikuasainya tidak jauh berbeda dari pendahulunya, Syekh Mukhtar. Karena itu, kitab-kitab literatur yang diajarkan di pesantren Al-Mukhtariyah pada masa kepempimpinan Guru Dame ini tidak berubah dari apa yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh pendiri pesantren.



3. Geneologi Keilmuan Zaharuddin Harahap dan Literatur Pesantren

Menurut informasi, Guru Dame hanya sekitar lima tahun mengasuh pesantren Al-Mukhtariyah. Karena sesuatu dan lain hal, termasuk karena jumlah santri yang semakin menurun, Guru Dame meninggalkan pesantren ini (1953) dan kemudian membuka pesantren baru di Desa Bahal (sekitar 3 KM dari lokasi Pesantren Al-Mukhtariyah). Akibatnya, para santri yang belajar di Pesantren ini pun merasa tidak kerasan, karena tidak ada lagi ustaz yang memiliki pengetahuan yang dalam, dan lalu pindah ke pesantren baru yang dibuka oleh Guru Dame. Karena itu secara otomatis, kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Al-Mukhtaiyah harus ditutup sementara. Jadi kalaupun di pesantren masih ada kegiatan hanya bersifat pengajian biasa (tradisional) yang umumnya diikuti oleh orang-orang lanjut usia. Masa senggang ini berlangsung sekitar 5 tahun (1953-1958), yang kemudian dibuka kembali oleh Zaharuddin Harahap (putra sulung Syekh Mukhtar).

Selain sempat belajar kepada Syekh Mukhtar sekitar 3 tahun, Zaharuddin Harahap menempuh pendidikan pesantren pada sebuah pesantren di Desa Aek Haruaya Sibuhuan, Kecamatan Barumun Tengah, Tapanuli Selatan. Di pesantren ia belajar selama 5 tahun tentang nahwu dan sharf, fiqh, tauhid, tafsir, hadis, dan tasawuf dari Syekh Muhammad Dahlan, yang pernah belajar selama 6 tahun di Mekah. Kemudian ketika Ustadz Asyad Siregar, seorang alumni pesantren Al-Mukhtariyah yang melanjutkan pendidikan ke Locknow India (satu angkatan dengan A. Mukti Ali mantan Menteri Agama), kembali dan ikut mengajar di pesantren Gunung Manaon, Zaharuddin pindah ke pesantren ini dan belajar kepada Ustadz Arsyad. Di pesantren Ustadz Arsyad ini ternyata kitab-kitab yang dipelajari tidak hanya yang dikenal di beberapa pesantren lain yang ada di nusantara, melainkan ia telah mengajarkan kitab-kitab lain yang berorientasi pemikiran modern. Hal ini sesuai dengan perkembangan pemikiran Islam di India waktu itu yang sudah mengalami modernisasi. Sebagian dari ktab baru itu adalah Bidyah al-Mujtahid karya Ibn Rusyd, Idzat al-Nasyi’in karya Musthafa Ghalayani, Al-Hushun al-Hamidiyyah karya Husain al-Jisry, Ilmu Mantiq, dan Ilmu Nafsi.

Dengan dibantu oleh Qomaruzzaman El-Mukhtary, Zaharuddin memilih dan menetapkan sejumlah kitab literatur yang akan diajarkan kepada santri di pesantren Al-Mukhtariyah. Beberapa dasar pertimbangan untuk menetapkan kitab-kitab ini adalah; (1) bidang ilmu yang diajarkan oleh Syekh Mukhtar pada masa sebelumnya, (2) bidang ilmu dan kitab-kitab yang dipelajari Zaharuddin di pesantren Ustadz Arsyad, dan (3) kitab-kitab baru yang mulai beredar di pasaran yang merupakan karya-karya ulama nusantara. Berikut adalah nama-nama kitab kuning yang diajarkan pada masa kepemimpinan Zaharuddin Harahap di pesantren Al-Mukhtariyah.

Memperhatikan data kitab-kitab kuning yang diajarkan di pesantren Al-Mukhtariyah pada masa Zaharuddin Harahap, terlihat beberapa perubahan yang cukup signifikan dibanding dengan kitab yang diajarkan pada masa sebelumnya. Perubahan dimaksud mengarah pada penghilangan sebagian kitab dan menambahnya dengan kitab lain yang tidak lagi kitab klasik, melainkan juga kitab berbahasa Melayu (Indonesia) yang menggunakan aksara Arab, atau yang dikenal dengan Kitab Arab-Melayu. Jelasnya perubahan itu dapat disebutkan sebagai berikut.

1. Nama-nama kitab kuning yang dihilangkan adalah:

a. Bidang Studi Akhlak terdiri atas Washaya al-Abai li al-Abnai.

b. Bidang Studi Aqidah terdiri atas Al-Dusuky.

c. Bidang Studi Fiqh terdiri atas Matn al-Ghayah al-Taqrib, Mahalli, dan Al-Fiqh fi al-Din.

d. Bidang Studi Nahwu terdiri atas Hasyiyah al-Hudlary, Asymuni, dan Syujur.

e. Bidang Studi Hadis terdiri atas; Minhat al-Mugist, Subul al- Salam, dan Al-Misykat al-Mashabih.

f. Bidang Studi Tafsir terdiri atas; Hasyiyah al-Shawy



2. Nama-nama kitab yng baru dimasukkan adalah:

a. Bidang Studi Akhlak; Pelajaran Akhlak (aksara Arab-Melayu), dan Idzat al-Nasyiin.

b. Bidang Studi Aqidah; Pelajaran Iman (aksara Arab-Melayu) dan al-Hushun al-Hamidiyyah.

c. Bidang studi Fiqh: Pelajaran Ibadat (aksara Arab-Melayu), Fiqh al-Wadlih (jilid 1 – 3), Qawaid Al-Fiqhiyah, Bidayah al-Mujtahid, dan Hikmah al-Tasyri’ wa al-Falasifah.

d. Bidang Studi Bahasa; Naw al-Wadhih (jilid 1-3) dan Pelajaran Bahasa Arab (jilid 1-3) karya Prof. Mahmud Yunus.

e. Bidang Studi Alquran: Pelajaran Ilmu Tajuwid.

f. Bidang studi Hadis; Pelajaran Hadis (Aksara Arab-Melayu)

g. Bidang Studi Tarikh; Riwayat Nabi Muhammad saw (aksara Arab-Melayu)

h. Bidang Studi Agama; Al-Adyan.

i. Bidang Studi Psikologi; Ilm al-Nafs (berbahasa Arab).

j. Bidang Studi Logika; Ilm al-Mantiq.



Hal yang cukup menarik pada periode ini adalah ditiadakannya kitab-kitab tafsir sebagai kitab bacaan, padahal di pesantren ini kegiatan belajar tafsir tetap dilaksanakan mulai dari surat al-Fatihah sampai Surat al-Nas (30 Juz). Bahkan menurut kenyataannya, mata pelajaran tafsir adalah yang utama di pesantren Al-Mukhtariyah dan wajib ditamatkan pada akhir pendidikan santri (kelas 7). Untuk mata pelajaran yang satu ini, H. Zaharuddin dan Qamarzzaman langsung membaca mushaf Alquran dan menafsirkannya tanpa membaca kitab tafsir.



4. Geneologi Keilmuan Qomaruzzaman dan Literatur Pesantren.

Setelah H. Zaharuddin Harahap meninggal dunia pada tahun 2000, pimpinan pesantren digantikan oleh adiknya Ustadz H. Qomaruzzaman el-Mukhtary, atau yang akrab dipanggil dengan Pak Ustadz. Usia Pak Ustadz sekarang telah mencapai 70 tahun, namun ia masih tetap aktif mengajar dan berdakwah.

Qomaruzzaman termasuk seorang otodidak yang cukup genius. Dalam sejarah pendidikannya, ia sebenarnya tidak pernah belajar di pesantren secara serius dan berkesinambungan. Pengetahuan agama yang mumpuni yang sekarang ia miliki diperoleh melalui pendidikan yang tidak teratur di pesantren Al-Mukhtariyah. Ketika ia mulai belajar di pesantren Al-Mukhtariyah, ayahnya Syekh Mukhtar sudah meninggal dunia, ia hanya dibimbing oleh Guru Dame selama lebih kurang 5 tahun. Setelah itu pesantren ini tidak lagi melaksanakan kegiatan pengajaran, dan secara praktis ia tidak lagi belajar di bawah bimbingan seorang Ustadz.

Ketika pesantren Al-Mukhtariyah dibuka kembali, ia dipercayakan turut mengajar di kelas-kelas rendah. Demikianlah, selama puluhan tahun mengajar sambil belajar secara mandiri, Ustadz Qomaruzzaman kemudian tumbuh menjadi seorang ahli agama yang banyak menguasai kitab kuning dan sangat ahli berpidato (orator). Hafalannya cukup bagus dan analisisnya juga demikian, sehingga ia dikenal sebagai ulama yang cukup dihormati dan disegani.

Berdasarkan kualifikasi keilmuan yang dimilikinya, Ustadz Qomaruzzaman tersebut tidak merubah literatur yang dipelajari di pesantren Al-Mukhtariyah. Tetapi kemudian kendala internal dan desakan situasi eksternal, mau tak mau harus terjadi pengurangan literatur kitab kuning dan menambah literatur lain berbahasa Indonesia.

Tony / Author & Editor

‘Menempuh jalan suluk’ berarti memasuki sebuah disiplin selama seumur hidup untuk menyucikan qalb dan membebaskan nafs (jiwa)

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates