Now you can Subscribe using RSS

Submit your Email

Tuesday, January 30, 2007

Burhanuddin Harahap: Tokoh Anti Korupsi

Tony
Oleh: Didin S. Damanhuri

Ada anggapan umum bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) peragu. Akan tetapi, hal itu tidak seluruhnya benar, terutama menyangkut upaya pemberantasan korupsi. Walaupun masih belum sistematis, tanpa blueprint yang jelas, dan masih terkesan “tebang pilih”, harus diakui, sejak keberhasilan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap melakukan gerakan antikorupsi dalam pelaksanaan Politik Benteng medio 1950, langkah SBY dalam mengambil keputusan dan mengimplementasikan pemberantasan korupsi relatif paling serius dibanding pemerintahan sebelumnya.

Buktinya, sejak dibentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), sudah puluhan pejabat penting pusat dan daerah yang diizinkan untuk diperiksa, kemudian dimejahijaukan, dan bahkan divonis. Mereka itu, mulai dari para gubernur, wali kota/bupati, pimpinan dan anggota DPRD, dirut/direksi BUMN, keluarga Soeharto, petinggi TNI dan Polri, mantan menteri, pejabat diplomatik, jaksa, hakim, dan seterusnya. Hal ini tak pernah terjadi sejak pemerintahan Habibie hingga Megawati.

Namun, jika dibanding keberhasilan Cina dan Korea Selatan dalam memberantas korupsi, Indonesia masih jauh panggang dari api. Di Cina, ratusan orang penting pelaku korupsi telah dihukum mati. Di Korea Selatan, dua mantan presiden telah divonis hukuman mati (meskipun akhirnya diberi grasi) dan banyak konglomerat hitam yang korup telah dipenjara. Di kedua negara tersebut, upaya memberantas korupsi bukan hanya membuat korupsi menurun drastis, tetapi juga terutama berdampak terhadap kepesatan pembangunan ekonomi, proses industrialisasi, dan kesejahteraan rakyat. Sekadar catatan, beberapa tahun sebelumnya peringkat korupsi Cina pernah lebih buruk dari Indonesia.

Ada beberapa analisis mengapa keberhasilan Indonesia masih jauh dibanding Cina dan Korea Selatan. Pertama, keadaan negeri ini ada kaitannya dengan konstatasi Gunnar Myrdal tentang bangsa-bangsa Asia Selatan yang disebutnya sebagai soft state, yakni negara yang berbudaya lembek, termasuk rakyatnya yang permisif terhadap korupsi. Hal itu berbeda dengan Cina dan Korea Selatan yang dalam kategori Myrdal termasuk sebagai hard state, yaitu rakyatnya disiplin, kerja keras, tak menenggang korupsi, dan seterusnya.

Kedua, ada benarnya sinyalemen pakar sosiologi korupsi Syed Hussein Alatas bahwa korupsi di bekas negara-negara terjajah terjadi karena warisan berabad-abad dari kondisi “historis struktural”, yakni, akibat represi oleh penjajah yang memutarbalikkan norma—yang benar dianggap salah dan yang salah dianggap benar. Maka, penyimpangan terhadap norma dalam masyarakat menjadi dianggap biasa, termasuk menenggang terhadap korupsi. Yang penting loyal terhadap penguasa.

Ketiga, menurut hemat penulis, adanya situasi transisi dari masyarakat agraris-tradisional ke modern-industrial yang belum tuntas juga menjadi penyebab. Meskipun kemajuan ekonomi dan politik telah sedemikian jauh di negeri ini, tetapi dalam hubungan sosial, masyarakat masih memelihara hubungan patron-client. Makin tinggi posisi sang patron (elite) dalam masyarakat, maka ia makin merasa harus membuktikan atau menunjang status kepatronannya itu dengan kekayaan. Akibatnya, kita dapat menyaksikan akrobat para elite (pusat dan daerah, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif) dengan segala cara, termasuk cara-cara KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), berlomba membuktikan status elite-nya dengan meraih sebesar mungkin kekayaan. Di lain pihak, masih banyak pula masyarakat (client) yang menaruh sandaran terhadap para elite dalam pelbagai bantuan, termasuk bantuan sosial-keagamaan (pembuatan rumah ibadah, sekolah, donator organisasi masyarakat, dan lain-lain).

Di Cina dan Korea Selatan, hubungan sosial tradisional memang masih bertahan, tetapi umumnya yang positif, seperti penghormatan kepada yang lebih tua, membantu keluarga yang kesulitan, memelihara extended family, dan sebagainya. Sementara itu, KKN, sebagai warisan dari hubungan sosial lama di kedua negara itu, berhasil dikurangi secara nyata bersamaan dengan kemajuan ekonomi dan politik. Hal itu berkat faktor kepemimpinan, sejak kepemimpinan Deng Xiao Ping di Cina dan Kim Young Sam di Korea Selatan, yang berkesinambungan hingga sekarang.

Dengan kompleksitas permasalahan di atas, maka prospek pemberantasan korupsi di Indonesia tak boleh hanya bersandar pada sebuah pemerintahan (seperti pemerintahan SBY saja). Akan tetapi, harus berkesinambungan antarpemerintahan dari hasil pemilu ke pemilu berikutnya. Selain itu, harus pula dibuktikan adanya kepemimpinan yang kuat dalam langkah pemberantasan korupsi yang disertai dengan blueprint dan langkah yang sistematis. Dan, tak kurang pentingnya, juga harus berkorelasi kuat dengan pembangunan ekonomi yang pesat dan kesejahteraan rakyat yang relatif adil dan merata. Selanjutnya, pemberantasan korupsi tak mungkin sukses hanya karena komitmen pemerintahan pusat, tetapi juga komitmen seluruh pemerintah daerah, kaum agamawan, lembaga swadaya masya¬rakat, dan seluruh elemen civil society. Semoga.

Tony / Author & Editor

‘Menempuh jalan suluk’ berarti memasuki sebuah disiplin selama seumur hidup untuk menyucikan qalb dan membebaskan nafs (jiwa)

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates