Now you can Subscribe using RSS

Submit your Email

Tuesday, April 08, 2008

SEJARAH PESANTREN AL-MUKHTARIYAH TAPANULI SELATAN

Tony
PERGESERAN LITERATUR PESANTREN
AL-MUKHTARIYAH TAPANULI SELATAN SUMATERA UTARA

Parluhutan Siregar

The study aims at exploring the development of old literature learnt in the Pesantren Al-Mukhtariyah. The pesantren is an old one, established in a village in South Tapanuli in 1935. During the leadership of Syekh Mukhtar, the founder of the pesantren, students were taught Arabic classical literature written by Arabian ulama belonging to ahlu sunnah. When Haji Zaharuddin took over the leadership, the literature for study was changed. Resources which were difficult to find in the market were replaced with such reading materials containing modern views as Bidayah al-Mujtahid by Ibn Rusydi and Izzat al-Nasyi-in by Mustafa Ghalayani. More recently, the reading materials include books in Indonesian and the old books in Arabic are no longer used. One of the leading factors for the changes is the limited human resources who are good in Arabic, and the increased subject matters the santri have to learn.

Term Kunci: kitab kuning, geneologi keilmuan, kurikulum, faktor pergeseran.

Pendahuluan
Sejarah pesantren awal, bahkan sampai pertengahan abad ke-20, tidak dapat dipisahkan dari literatur kitab kuning. Tanpa keberadaan dan pengajaran kitab kuning, suatu lembaga pendidikan tidak dapat disebut sebagai pesantren. Dalam konteks ini, Wahid[1] bahkan menyatakan bahwa kitab kuning telah menjadi salah satu sistem nilai dalam kehidupan pesantren. Karena itu, pembelajaran dan pengkajian kitab kuning sangat dipentingkan dan merupakan ciri khas pembelajaran di seluruh pesantren. Dalam kurun waktu yang sangat lama, kitab kuning tidak hanya menjadi pusat orientasi, tetapi telah mendominasi studi keislaman pesantren dan mewarnai praktik keagamaan dalam berbagai dimensi kehidupan umat Islam.
Ketika ‘arus’ modernisasi pendidikan Islam mulai memasuki Indonesia, kedudukan literatur keagamaan klasik tidak ‘serta merta’ berubah. Pesantren tampak bersifat selektif terhadap gagasan-gagasan pembaharuan pendidikan Islam, terutama berkaitan dengan literatur keagamaan atau muatan pendidikannya. Pada awalnya, sebagaimana dikemukakan Steenbrink,[2] respon pesantren terhadap kemunculan sekolah dan kelembagaan pendidikan Islam modern (madrasah), adalah sebagai ‘menolak dan mencontoh’. Dalam hal-hal tertentu, pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan penyesuaian (seperti sistem perjenjangan dan klasikal) untuk mendukung eksistensi dan kontinuitasnya. Tetapi dalam hal literatur keagamaan dan kurikulum pendidikan, pesantren tampaknya tetap konsisten dalam mengembangkan kajian keislaman yang merujuk pada literatur kitab kuning. Demikianlah, dalam waktu yang relatif lama, pesantren tetap merupakan lembaga pendidikan Islam yang konsisten mempertahankan kitab kuning, tidak hanya dikaji, tetapi juga dilestarikan.
Dewasa ini, sikap untuk ‘menolak atau mencontoh’ terhadap kurikulum persekolahan tampaknya sudah berubah. Dalam ukuran-ukuran yang semakin luas, pesantren kelihatan telah semakin banyak memasukkan literatur-literatur non kitab kuning dalam kurikulum dan kegiatan pembelajarannya. Penelitian yang dilakukan Al Rasyidin[3] pada beberapa pesantren di Sumatera Utara pada tahun 1999-2000 menemukan bahwa pengkajian terhadap literatur keagamaan, khususnya kitab kuning, bukan lagi merupakan aktivitas utama pesantren. Pesantren yang diteliti tampaknya semakin banyak mengakomodasi kurikulum nasional yang dikeluarkan oleh Departemen Agama. Hal ini menyebabkan bergesernya pusat orientasi studi yang semula mengacu pada literatur keagamaan kitab kuning kepada literatur-literatur ilmu pengetahuan umum. Literatur kitab kuning umumnya hanya digunakan sebagai kitab maraji`, yang dalam banyak kasus lebih banyak dimanfaatkan oleh para ustadz, bukan santri.
Adalah merupakan suatu studi yang urgen dan menarik untuk melihat secara lebih mendalam dan komprehensif sebab-sebab terjadinya pergeseran literatur keagamaan yang selama ini menjadi pusat orientasi studi di seluruh pesantren. Studi tersebut setidaknya diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan pokok berikut: bagaimanakah latar historis, eksistensi, dan posisi literatur keagamaan kitab kuning dalam kurikulum pendidikan Pesantren Al-Mukhtariyah yang ada di Kecamatan Portibi Tapanuli Selatan Sumatera Utara? Apakah perubahan kurikulum telah menyebabkan bergesernya posisi literatur keagamaan kitab kuning dalam pembelajaran di pesantren? Apakah pergeseran tersebut diinspirasi dan didorong oleh kebutuhan internal pesantren untuk tetap survive atau dikarenakan kekuatan-kekuatan eksternal dari luar? Apakah pergeseran itu dikarenakan semakin sulitnya menemukan kyai, ustadz atau pendidik yang ‘mumpuni’ dalam penguasaan literatur keagamaan kitab kuning? Apakah pergeseran literatur keagamaan kitab kuning menimbulkan konsekuensi bagi pesantren sebagai pusat pengembangan pengetahan Islam? Seluruh pertanyaan tersebut diharapkan dapat terjawab melalui studi tentang dinamika pendidikan Islam di Sumatera Utara yang berfokus pada pergeseran literatur keagamaan dalam kurikulum pesantren.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan informasi yang komprehensif dan mendalam tentang:
1. Latar historis keberadaan literatur kitab kuning dalam kurikulum Pesantren Al-Mukhtariyah.
2. Bidang-bidang ilmu dan literatur kitab kuning apa saja yang diajarkan kepada santri pada Pesantren Al-Mukhtariyah.
3. Pergeseran yang terjadi, baik dalam judul kitab, jumlah kitab maupun pembelajaran literatur kitab kuning pada Pesantren Al-Mukhtariyah.
4. Konsekuensi yang muncul sebagai dampak dari pergeseran literatur kitab kuning dalam kurikulum dan pembelajaran pada Pesantren Al-Mukhtariyah.

Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan studi lapangan yang menggunakan metode mode of inquiry qualitative, yaitu metode kualitatif yang menggunakan teknik berhadapan langsung dalam pengumpulan data dengan informan atau subjek penelitian di dalam latar alamiah mereka. Peneliti membangun suatu gambaran yang kompleks dan holistik dengan deskrispi-deskripsi rinci tentang perspektif informan berkenaan dengan fenomena atau masalah yang diteliti.
Ada dua pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan fenomenologi dan sejarah (phenome­nological and historical approach). Pendekatan fenomenologi adalah pendekatan yang berfokus pada perolehan data deskriptif tentang bagaimana subjek atau informan memahami atau memberi makna terhadap fenomena yang diteliti. Dalam konteks penelitian ini, pendekatan fenomenologi digunakan untuk mentransformasikan fenomena pergeseran literatur kitab kuning pesantren ke dalam suatu deskripsi yang dapat mengambarkan secara holistik perspektif atau makna-makna dari seluruh subjek atau informan mengenai pergeseran literatur tersebut. Kemudian, pendekatan sejarah menurut McMillan dan Schumacher[4] adalah pendekatan yang befokus pada penyelidikan tentang sebab-sebab terjadinya peristiwa masa lalu. Dalam mengidentifikasi sebab-sebab tersebut, peneliti menyandarkan diri pada kronologi peristiwa, pandangan orang mengenai persitiwa tersebut, dan berfokus pada dampak peristiwa tersebut pada berbagai lapangan kehidupan. Dalam konteks institusi, topik yang diteliti peneliti bisa berkenaan dengan public education, seperti pesantren; sedangkan dalam konteks komponen pendidikan, peneliti bisa mengambil topik tentang kurikulum,[5] yang dalam penelitian ini difokuskan pada literatur kitab kuning pesantren.
Dalam konteks penelitian ini, pendekatan sejarah digunakan untuk mencermati latar historis dan dinamika keberadaan literatur kitab kuning dalam kurikulum pendidikan pesantren Al-Mukhtariyah. Untuk itu, seluruh dokumen dan informasi tertulis berkenaan dengan literatur dan posisinya dalam pembelajaran di pesantren digunakan sebagai sumber pokok data penelitian.
Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Pesantren Al-Mukhtariyah Kecamatan Portibi Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Pesantren ini merupakan pesantren salafiyah yang didirikan oleh Syekh H. Muhammad Shaleh Mukhtar Harahap pada tahun 1935 dan merupakan salah satu pesantren tertua di Sumatera Utara yang terus melaksanakan pendidikan agama Islam hingga saat ini.
Subjek penelitian ini adalah seluruh komunitas pesantren yang terlibat langsung pada peristiwa dan persoalan yang diteliti, yaitu: (a) kyai atau pimpinan umum Pesantren Al-Mukhtariyah, (b) kepala madrasah pesantren, (c) para ustadz atau guru yang mengajara literatur kitab kuning, serta (d) santri dan alumni Pesantren Al-Mukhtariyah. Selain berasal dari seluruh subjek di atas, data penelitian ini juga diperoleh dari dokumen, catatan sejarah, dan hasil penelitian ilmiah tentang sejarah dan dinamika Pesantren Al-Mukhtariyah.
Strategi Pengumpul Data
Miles dan Huberman[6] menyatakan bahwa pengumpulan dan analisa data dalam penelitian kualitatif berlangsung secara sirkuler. Sejalan dengan itu, McMillan dan Shumacher[7] juga menyatakan bahwa pengumpulan dan analisa data kualitatif berlangsung secara interaktif dan overlapping, karenanya tidak disebut sebagai prosedur tetapi strategi pengumpulan dan analisis data. Lebih lanjut, menurut McMillan dan Schumacher[8], dalam semua pengumpulan data kualitatif, fase-fase penelitian secara relatif sama, yaitu dimulai dari: (1) fase perencanaan, (2) fase permulaan mengumpul data, (3) fase mengumpulkan data dasar atau pokok, (4) fase mengakhiri pengumpulan data, dan (5) fase melengkapi data.
Dengan memodifikasi fase-fase di atas, maka strategi utama yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini dibagi kepada 3 fase, yaitu:
(1) Pada fase perencanaan, strategi yang digunakan adalah studi dokumen atau telaah literatur. Strategi ini digunakan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan pemahaman teoritik tentang sistem pendidikan pesantren.
(2) Pada fase pengumpulan data pokok, strategi pengumpul data yang digunakan adalah: (a) studi dokumen dan telaah literatur berkenaan dengan latar historis keberadaan literatur kitab kuning dalam kurikulum pendidikan Pesantren al-Mukhtariyah, dan (b) wawancara dengan kyai atau pimpinan pesantren, kepala madrasah, para ustadz, santri dan alumni pesantren untuk menjaring data pokok yang berkenaan dengan pergeseran literatur keagamaan kitab kuning pesantren
(3) pada fase melengkapi data, maka strategi pengumpul data yang digunakan adalah wawancara mendalam (indefth interview) dengan teknik semi terstruktur (semi-structured interview). Aktivitas ini dilakukan dengan dua tujuan utama, yaitu: (a) melengkapi data yang masih memerlukan informasi tambahan, baik dari para kyai, kepala madrasah, ustadz, maupun santri dan alumni pesantren, dan (b) memverivikasi data yang masih memerlukan kejelasan untuk menghindari kekeliruan dalam penafsiran atau penarikan kesimpulan.
Tehnik Analisa Data
Dalam studi kualitatif, analisis data adalah sebuah proses sistematik yang bertujuan untuk menyeleksi, mengkategori, membanding, mensintesa, dan menginterpretasi data untuk membangun suatu gambaran komprehensif tentang fenomena atau topik yang sedang diteliti. Karena itu, sebagaimana dinyatakan Merriam[9], analisis data merupakan proses memberi makna terhadap suatu data. Data diringkas atau dipadatkan dan dihubungkan satu sama lain ke dalam sebuah narasi sehingga dapat memberi makna kepada para pembaca. Proses itu, menurut Taylor dan Bogdan[10] adalah “to come up with reasonable conclussions and generalizations based on a preponderance of the data”, yaitu menarik sejumlah kesimpulan dan generalisasi yang rasional berdasarkan sekumpulan data yang telah diperoleh.
Menurut McMillan dan Schumacher[11] proses analisa data kualitatif pada dasarnya berlangsung secara berulang (cyclical) dan terintegrasi ke dalam seluruh tahapan penelitian. Analisis data sudah dilakukan peneliti sejak penelitian berlangsung hingga masa akhir pengumpulan data. Karena itu, ketika menganalisis data penelitian ini, peneliti berulang-alik bergerak dari data diskriptif ke arah tingkat analisis yang lebih abstrak, kemudian kembali lagi pada tingkat abstraksi sebelumnya, memeriksa secara berulang analisis dan interpretasi yang telah dibuat, bernegosiasi kembali ke lapangan untuk memeriksa secara cermat data-data yang masih memerlukan tambahan informasi, dan demikian seterusnya.
Secara khusus, dalam konteksnya dengan penelitian ini, peneliti mengadaptasi analisa data kualitatif sebagaimana disarankan oleh McMillan dan Schumacher[12], yaitu:
(1) Inductive analysis, yakni proses analisis data yang dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah cyclical untuk mengembangkan topik, kategori, dan pola-pola data guna memunculkan sebuah sintesa diskriptif yang lebih abstrak.
Dalam proses mengembangkan topik, peneliti beranjak dari informasi atau data dasar yang bersumber dari dokumen, literatur, dan wawancara mendalam untuk selanjutnya dibaca secara cermat dan diidentifikasi bagian-bagian tertentu yang bisa memunculkan suatu topik. Sebuah topik merupakan kumpulan dari sejumlah potongan data yang bisa diikat dengan sebuah tema atau makna yang sama. Masing-masing topik tersebut ditulis dalam suatu kolom pada komputer (seperti sebuah indeks), kemudian diperiksa berulang kali untuk menghindari duplikasi dan adanya topik yang saling tumpang tindih.
Setelah proses di atas selesai, peneliti kemudian mengembangkan topik ke dalam sejumlah kategori. Categorizing adalah mempersatukan unit-unit yang kelihatannya memiliki content yang sama ke dalam satu kategori sementara.
Setelah kategorisasi selesai dilakukan, peneliti kemudian menganalisis hubungan antara kategori yang telah dibuat untuk memunculkan pola-pola data. Karena sebuah pola merupakan a relationship among categories[13], maka proses pemolaan dilakukan dengan memperhatikan asumsi-asumsi teoritis. Pola-pola pokok yang telah dibuat tersebut selanjutnya peneliti gunakan sebagai kerangka untuk melaporkan temuan dan menyusun laporan penelitian.
(2) Interim analysis, yakni melakukan analisis yang sifatnya sementara selama pengumpulan data. Menurut McMillan dan Schumacher[14] hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membuat berbagai keputusan dalam pengumpulan data dan mengidentifikasi topik dan pola-pola yang muncul secara berulang. Dalam analisis ini, tehnik yang peneliti gunakan adalah mengadopsi strategi yang disarankan McMillan dan Schumacher, yaitu: (1) meninjau semua data yang telah dikumpulkan yang berkaitan dengan topik. Penekanan yang diberikan di sini bukanlah pada makna topik, tetapi pada upaya memperoleh sebuah perspektif global mengenai jajaran topik-topik data, (2) mencermati makna-makna yang berulang yang bisa dijadikan sebagai tema atau pola-pola utama. Tema-tema bisa didapatkan dari telaah dokumen atau literatur dan percakapan dalam latar sosial dengan kyai, kepala madrasah, ustadz, atau santri dan alumni pesantren. Untuk membuat tema, peneliti memberi komentar terhadap temuan dari studi dokumen dan literatur dan mengelaborasi hasil wawancara, dan (3) berfokus kembali pada topik studi untuk analisis data tertentu. Karena kebanyakan data kualitatif bersifat terlalu luas, maka peneliti mempersempit fokus analisis data hanya pada topik yang diteliti.
Validitas dan Objektivitas Data
Dalam penelitian kualitatif, validitas dimaknai sebagai tingkat di mana berbagai konsep dan interpretasi yang dibuat peneliti memiliki kesamaan makna dengan makna-makna yang dipahami subjek atau partisipan penelitian. Dalam konteksnya dengan penelitian ini, ada 3 (tiga) strategi yang peneliti gunakan untuk menjamin validitas data penelitian, yaitu:
Berlama-lama atau memperpanjang waktu dalam mengumpul data di lapangan (prolonged data collection), hal ini dimaksudkan agar peneliti bisa mendapatkan sebanyak mungkin bukti-bukti yang menguatkan untuk menjamin kesesuaian antara berbagai temuan dengan keadaan yang sebenarnya.
Melakukan triangulasi dalam pengumpulan dan analisa data. Hal ini dilakukan untuk mengecek data, dengan menyilang informasi nformasi dari sumber data yang berbeda, khususnya antara hasil wawancara dengan dokumen atau sebaliknya guna menjamin akurasi semua data yang telah dikumpulkan.
Member checks, yaitu membawa data dan interpretasi data tersebut kembali kepada partisipan dan menanyakan kepada mereka apakah data dan penafsiran terhadap data yang peneliti buat sudah benar atau sudah sesuai dengan makna sebagaimana dipahami partisipan.

Temuan Penelitian
Sejarah Pondok Pesantren Al-Mukhtariyah
Menurut informasi yang diperoleh, pada awal abad 20 telah ditemukan sejumlah kelompok pengajian agama di daerah Padang Lawas (sub daerah Kabupaten Tapanuli Selatan), namun masih amat sederhana dan jumlah santri yang mengikutinya juga masih sedikit. Di Jawa, kelompok pengajian serupa disebut dengan pesantren sorogan. Umumnya kelompok-kelompok pengajian atau sorogan tersebut diasuh oleh para guru (ustadz) alumni madrasah Thariqat Naqsyabandiyah Babussalam Langkat dan alumni sekolah-sekolah agama bercorak tradisional di Malaya (Malaysia). Kelompok-kelompok pengajian tersebut biasanya dilaksanakan di rumah guru atau di mesjid, dengan kegiatan pembelajaran membaca kitab-kitab berbahasa melayu. Pengajian-pengajian yang bersifat sorogan tersebut mempelajari tauhid, khususnya sifat-sifat Allah dan RasulNya (yang dikenal dengan sifat duapuluh), kitab-kitab fiqh yang membahas tentang ibadah mahdhah, serta tasawuf atau thariqat. Mungkin hanya ada dua pengajian, yang sedikit lebih maju pada waktu itu, yaitu sebuah madrasah di Gunung Manaon (Padang Bolak, Tapanuli Selatan) dan satu lagi di Sibuhuan (Tapanuli Selatan). Kedua lembaga pengajian ini telah mengajarkan kitab-kitab arab klasik, dengan kiyai berpendidikan Mekah.
Di tengah kondisi pendidikan Islam tradisional tersebut, seorang ulama yang telah belajar agama di Langkat (Sumatera Utara), Malaysia, dan Timur Tengah, mendidirikan sebuah pesantren di Desa Portibi Jae, Padang Bolak, Tapanuli Selatan. Pesantren itu didirikan dan diresmikan pada tahun 1935 oleh Haji Muhammad Shaleh Mukhtar, atau yang lebih dikenal dengan Syekh Mukhtar. Pada awalnya sebagaimana populer di masyarakat sekitar lembaga pendidikan yang baru didirikan itu bernama “Sekolah Arab Pondok Sungai Dua” atau “Pondok Pasir Pinang”. Nama Sungai Dua itu pada dasarnya dihubungkan dengan lokasi pesantren yang berada di antara dua sungai, namun para guru (ustadz) yang mengajar di pesantren ini memaknainya sebagai dua aliran kehidupan yang berpadu dalam sistem pendidikan pesantren; dunia dan akhirat.
Pada saat pertama kali didirikan, pesantren ini dibangun di atas tanah seluas 3.5 hektare di pinggir sungai Batang Pane. tepatnya di antara Desa Portibi Jae dan Desa Pasir Pinang, Kecamatan Portibi Kabupaten Tapanuli Selatan Propinsi Sumatera Utara, sekitar 400 KM dari kota Medan. Lokasi pesantren ini benar-benar berada di tengah pedesaan, di mana pada masa sebelum kemerdekaan masih amat jauh dari perkotaan. Karena itu, para santri atau keluarga santri yang belajar atau berkunnjung ke sini biasanya datang dengan berjalan kaki atau menaiki sepeda.
Ketika pesantren Al-Mukhtariyah didirikan, Syekh Mukhtar menerapkan dua sistem pendidikan; Pertama, sistem pendidikan sorogan yang diikuti oleh para lanjut usia yang mondok di pesantren. Kedua, sistem pendidikan berjenjang dan klasikal bagi generasi muda. Sistem pendidikan ini tidak lagi mengikuti pola pengajian tradisional, seperti yang lazim waktu itu, tetapi telah mengadopsi sistem pendidikan di Arab Saudi. Jenjang pertama adalah Tsanawiyah Awwaliyah dengan masa pendidikan 4 tahun, sedangkan jenjang berikutnya adalah Tsanawiyah Wustho dengan masa pendidikan selama 3 tahun. Pada hakikatnya pembagian ini hanya bersifat formalitas saja, karena dalam prakteknya para santri lebih sering dikelompokkan berdasarkan kelas, mulai kelas 1 sampai kelas 7. Dengan demikian, seorang santri baru disebut menamatkan pendidikan jika telah menempuh pendidikan selama 7 tahun.
Bidang studi yang diajarkan di pesantren ini meliputi berbagai aspek ilmu-ilmu keislaman, seperti Tafsir, Hadis, Tauhid, Fiqh, Akhlak/Tasawuf, dan Bahasa Arab. Materi pengajaran yang diberikan kepada para santri mengacu pada kitab-kitab klasik yang berasal dari Timur Tengah. Biasanya, penentuan nama kitab yang dipelajari tidak tergantung pada tingkatan kelas, tetapi pada tamatnya dibaca sebuah kitab. Jadi, bisa saja sebuah kitab yang belum habis dibaca di kelas 1, kitab yang sama digunakan juga untuk kelas 2.
Santri pemula yang mendaftar ke pesantren ini disyaratkan telah lulus Sekolah Desa dan sudah pandai membaca Alquran. Belakangan, persyaratan pendidikan tersebut dirubah dan disesuaikan dengan perkembangan pendidikan umum, menjadi lulusan sekolah rakyat atau sekolah dasar. Kalaupun demikian, ternyata tidak sedikit santri yang masuk ke tingkat tsanawiyah setelah menyelesaikan pendidikan setingkat SLTP.
Sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren ini ternyata mendapat simpati yang positif dari masyarakat. Setiap tahun jumlah santri semakin bertambah. Jumlah santri di sini, sejak berdirinya, memang tidak pernah melebihi 500 orang, namun ia menjadi pesantren yang populer di daerah Tapanuli Selatan dan Labuhan Batu. Karena itu, para santri berasal dari berbagai daerah, tidak hanya dari kecamatan-kecamatan yang ada di sekitarnya melainkan juga dari daerah lain, seperti dari Mandailing dan Kabupaten Labuhan Batu.
Selain itu, Syekh Mukhtar juga membuka cabang-cabang pesantren di beberapa tempat di Kecamatan Padang Bolak, seperti di Desa Portibi Julu (diasuh oleh H. Abdul Halim Hasibuan), di Desa Simaninggir (diasuh oleh Guru Uteh), di Desa Rondaman Dolok (diasuh oleh H. Mursal), di Desa Hotangsasa (diasuh oleh Guru Jidin), dan di Desa Aloban (diasuh oleh Guru Zakaria).
Dalam perkembangannya dari sejak dibangun pertama kali sampai sekarang, pesantren Al-Mukhtariyah telah mengalami banyak perubahan. Pertama, lokasi pesantren telah dipindahkan ke lokasi baru yang tidak jauh dari tempat lama. Perpindahan lokasi ini disebabkan oleh musibah banjir yang menghanyutkan banyak rumah penduduk di daerah aliran sungai (DAS) Batang Pane. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1967, di mana karena derasnya banjir menghabiskan hampir seluruh bangunan pesantren dan gubuk-gubuk kecil tempat santri mondok. Lalu kemudian lokasi pesantren dipindahkan ke arah utara sekitar 700 M dari lokasi lama. Lokasi baru ini tidak lagi pada daerah aliran sungai (DAS), tetapi sudah pada dataran yang lebih tinggi dengan luas areal sekitar 6 hektare. Sampai sekarang lokasi pesantren Al-Mukhtariyah di tempat ini, tepatnya pada KM 16 jalan raya Gunungtua ke arah Binanga.
Kedua, pimpinan pesantren telah berganti sebanyak 4 (empat) kali, mulai dari Syekh Mukhtar (1935-1948), Guru Musthafa Buya Siregar (1948-1953), H. Zaharuddin Harahap (1958-2000), dan H. Qomaruzzaman el-Mukhtary Harahap (2000-sekarang). Dua nama yang disebut terakhir adalah putra pertama dan kedua dari Syekh Mukhtar (pendiri pesantren Al-Mukhtariyah).
Ketiga, pesantren Al-Mukhtariyah pernah ditutup sementara untuk santri muda dari tahun 1953-1958. Hal ini terjadi karena tidak ada tenaga pengajar yang dinilai cukup mumpuni untuk memimpin pesantren. Pradtis dengan penutupan sementara ini, kegiatan di pesantren hanya terbatas pada pengajian kelompok (sorogan) yang diikuti oleh sejumlah santri lanjut usia dan diasuh oleh guru-guru Thariqat Naqsyabandiyah.
Keempat, literatur yang dipakai di pesantren ini juga mengalami perubahan secara evolutif, disebabkan oleh perubahan pimpinan dan tenaga pengajar serta faaktor eksternal yang harus direspon oleh pesantren.

Geneologi Keilmuan Pimpinan dan Literatur Pesantren
1. Geneologi Keilmuan Syekh Mukhtar dan Literatur Pesanteren.
Syekh Mukhtar, pendiri pondok Pesantren Al-Mukhtariyah, adalah seorang ulama Sumatera Utara yang hidup awal abad 20. Ia lahir tahun 1900 di desa Rondaman Lombang (sekarang berada di wilayah kecamatan Portibi Kabupaten Tapanuli Selatan). Nama kecilnya Ya’kub Harahap bin Tongku Haji Harahap. Gelar Haji Muhammad Shaleh Mukhtar diberikan kepadanya ketika melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci Mekah pada tahun 1925.
Syekh Mukhtar memulai pendidikan dasar di Sekolah Desa di Portibi (selama dua tahun). Pada usia 10 tahun berangkat ke Tanjung Pura Langkat untuk belajar agama di Madrasah Mahmudiyah yang dibina oleh Sultan Tanjung Pura. Setelah 4 tahun di Langkat, ia melanjutkan pelajarannya ke Kedah Malaysia. Di sini ia mempelajari Tafsir, Fiqh, dan Qawaid (Bahasa Arab) dari Syekh Haji Ya’kub dari tahun 1914-1920 (6 tahun). Selama 5 tahun berikutnya (1920-1925), ia belajar di Pesantren Kenali Malaysia dari Syekh M. Yusuf untuk memperdalam pengetahuan agama yang diperoleh sebelumnya.
Pengetahuan agama yang digali dari beberapa ulama di Malaysia ternyata mendorong Syekh Mukhtar untuk melanjutkan pendidikan ke Mekah. Tahun 1925 (usia 25 tahun). Ia berangkat ke Mekah memperdalam pengetahuan agama dari ulama Haramain. Di sana ia berguru kepada beberapa ulama, seperti Syekh Mukhtar Bogor, Syekh Abdul Kadir Mandily, Syekh Ali Maliki Al-Makky, Syekh Umar Bajuri Hadhramy, Syekh Abdur Rahman Makky, Syekh Umar Satha al-Makky, Syekh Muhammad Amin Madinah, Syekh Muhammad Fathani Malaya, dan Ustaz Nila.
Tidak jelas pengetahuan apa saja yang dipelajari Syekh Mukhtar selama belajar di Mekah. Namun demikian, melihat nama guru-gurunya dan bidang keilmuan kitab-kitab yang amat banyak dibawanya dari Mekah, berat dugaan ia lebih banyak mendalami disiplin bahasa, khususnya Nahwu dan Sharf, Tauhid, Fiqh, Tafsir, Hadis, dan Tasawuf.
Berdasarkan paparan di atas, penyusunan silabus atau kurikulum pengajaran di pesantren Al-Mukhtariyah pada awal berdirinya banyak mengacu pada disiplin ilmu yang dipelajari oleh Syekh Mukhtar di Langkat, Malaysia dan Mekah. Selain itu, untuk memudahkan santri mengakses kitab-kitan pelajaran, Syekh Mukhtar juga mempertimbangkan ketersediaan kitab-kitab yang ada dipasarkan di Indonesia. Satu hal dapat dipastikan, sesuai dengan kondisi perkembangan ilmu-ilmu keislaman pada saat itu di Indonesia, kitab-kitab yang dipilih sebagai bahan pelajaran di pesantren Al-Mukhtariyah adalah kitab-kitab kuning yang ditulis para ulama abad pertengahan (Lihat Lampiran).

2. Geneologi Keilmuan Musthafa Buya dan Literatur Pesantren.
Ketika Syekh Mukhtar meninggal dunia pada tahun 1948, anak-anaknya (sebanyak 6 orang) masih kecil-kecil. Anak yang paling tua, Zaharuddin Harahap, waktu itu baru berumur 15 tahun, sehingga belum bisa memimpin di pesantren Al-Mukhtariyah. Lalu, atas kesepakatan keluarga, pengasuh pesantren dipercayakan kepada Ustaz Mustafa Buya Siregar, atau yang lebih dikenal dengan Guru Dame. Sebenarnya Guru Dame bukanlah alumni dari pesantren ini, namun karena ia dipandang telah memiliki pengetahuan yang memadai, serta masih termasuk kerabat dari Syekh Mukhtar, kepadanyalah diserahkan untuk memimpin pesantren ini.
Guru Dame adalah seorang lulusan pesantren di Desa Gunung Manaon Kecamatan Padang Bolak. Ia belajar kitab-kitab kuning yang sudah standard selama 7 tahun dari guru yang sudah mumpuni di pesantren tersebut dengan sistem sorogan. Seperti halnya pesantren-pesantren yang ada di daeeah lain, bidang studi yang dipelajari Guru Dame meliputi nahwu dan sharf, fiqh, tauhid, tafsir, hadis, dan tasawuf. Jadi pengetahuan yang dikuasainya tidak jauh berbeda dari pendahulunya, Syekh Mukhtar. Karena itu, kitab-kitab literatur yang diajarkan di pesantren Al-Mukhtariyah pada masa kepempimpinan Guru Dame ini tidak berubah dari apa yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh pendiri pesantren.

3. Geneologi Keilmuan Zaharuddin Harahap dan Literatur Pesantren
Menurut informasi, Guru Dame hanya sekitar lima tahun mengasuh pesantren Al-Mukhtariyah. Karena sesuatu dan lain hal, termasuk karena jumlah santri yang semakin menurun, Guru Dame meninggalkan pesantren ini (1953) dan kemudian membuka pesantren baru di Desa Bahal (sekitar 3 KM dari lokasi Pesantren Al-Mukhtariyah). Akibatnya, para santri yang belajar di Pesantren ini pun merasa tidak kerasan, karena tidak ada lagi ustaz yang memiliki pengetahuan yang dalam, dan lalu pindah ke pesantren baru yang dibuka oleh Guru Dame. Karena itu secara otomatis, kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Al-Mukhtaiyah harus ditutup sementara. Jadi kalaupun di pesantren masih ada kegiatan hanya bersifat pengajian biasa (tradisional) yang umumnya diikuti oleh orang-orang lanjut usia. Masa senggang ini berlangsung sekitar 5 tahun (1953-1958), yang kemudian dibuka kembali oleh Zaharuddin Harahap (putra sulung Syekh Mukhtar).
Selain sempat belajar kepada Syekh Mukhtar sekitar 3 tahun, Zaharuddin Harahap menempuh pendidikan pesantren pada sebuah pesantren di Desa Aek Haruaya Sibuhuan, Kecamatan Barumun Tengah, Tapanuli Selatan. Di pesantren ia belajar selama 5 tahun tentang nahwu dan sharf, fiqh, tauhid, tafsir, hadis, dan tasawuf dari Syekh Muhammad Dahlan, yang pernah belajar selama 6 tahun di Mekah. Kemudian ketika Ustadz Asyad Siregar, seorang alumni pesantren Al-Mukhtariyah yang melanjutkan pendidikan ke Locknow India (satu angkatan dengan A. Mukti Ali mantan Menteri Agama), kembali dan ikut mengajar di pesantren Gunung Manaon, Zaharuddin pindah ke pesantren ini dan belajar kepada Ustadz Arsyad. Di pesantren Ustadz Arsyad ini ternyata kitab-kitab yang dipelajari tidak hanya yang dikenal di beberapa pesantren lain yang ada di nusantara, melainkan ia telah mengajarkan kitab-kitab lain yang berorientasi pemikiran modern. Hal ini sesuai dengan perkembangan pemikiran Islam di India waktu itu yang sudah mengalami modernisasi. Sebagian dari ktab baru itu adalah Bidyah al-Mujtahid karya Ibn Rusyd, Idzat al-Nasyi’in karya Musthafa Ghalayani, Al-Hushun al-Hamidiyyah karya Husain al-Jisry, Ilmu Mantiq, dan Ilmu Nafsi.
Dengan dibantu oleh Qomaruzzaman El-Mukhtary, Zaharuddin memilih dan menetapkan sejumlah kitab literatur yang akan diajarkan kepada santri di pesantren Al-Mukhtariyah. Beberapa dasar pertimbangan untuk menetapkan kitab-kitab ini adalah; (1) bidang ilmu yang diajarkan oleh Syekh Mukhtar pada masa sebelumnya, (2) bidang ilmu dan kitab-kitab yang dipelajari Zaharuddin di pesantren Ustadz Arsyad, dan (3) kitab-kitab baru yang mulai beredar di pasaran yang merupakan karya-karya ulama nusantara. Berikut adalah nama-nama kitab kuning yang diajarkan pada masa kepemimpinan Zaharuddin Harahap di pesantren Al-Mukhtariyah.
Memperhatikan data kitab-kitab kuning yang diajarkan di pesantren Al-Mukhtariyah pada masa Zaharuddin Harahap, terlihat beberapa perubahan yang cukup signifikan dibanding dengan kitab yang diajarkan pada masa sebelumnya. Perubahan dimaksud mengarah pada penghilangan sebagian kitab dan menambahnya dengan kitab lain yang tidak lagi kitab klasik, melainkan juga kitab berbahasa Melayu (Indonesia) yang menggunakan aksara Arab, atau yang dikenal dengan Kitab Arab-Melayu. Jelasnya perubahan itu dapat disebutkan sebagai berikut.
1. Nama-nama kitab kuning yang dihilangkan adalah:
a. Bidang Studi Akhlak terdiri atas Washaya al-Abai li al-Abnai.
b. Bidang Studi Aqidah terdiri atas Al-Dusuky.
c. Bidang Studi Fiqh terdiri atas Matn al-Ghayah al-Taqrib, Mahalli, dan Al-Fiqh fi al-Din.
d. Bidang Studi Nahwu terdiri atas Hasyiyah al-Hudlary, Asymuni, dan Syujur.
e. Bidang Studi Hadis terdiri atas; Minhat al-Mugist, Subul al- Salam, dan Al-Misykat al-Mashabih.
f. Bidang Studi Tafsir terdiri atas; Hasyiyah al-Shawy

2. Nama-nama kitab yng baru dimasukkan adalah:
a. Bidang Studi Akhlak; Pelajaran Akhlak (aksara Arab-Melayu), dan Idzat al-Nasyiin.
b. Bidang Studi Aqidah; Pelajaran Iman (aksara Arab-Melayu) dan al-Hushun al-Hamidiyyah.
c. Bidang studi Fiqh: Pelajaran Ibadat (aksara Arab-Melayu), Fiqh al-Wadlih (jilid 1 – 3), Qawaid Al-Fiqhiyah, Bidayah al-Mujtahid, dan Hikmah al-Tasyri’ wa al-Falasifah.
d. Bidang Studi Bahasa; Naw al-Wadhih (jilid 1-3) dan Pelajaran Bahasa Arab (jilid 1-3) karya Prof. Mahmud Yunus.
e. Bidang Studi Alquran: Pelajaran Ilmu Tajuwid.
f. Bidang studi Hadis; Pelajaran Hadis (Aksara Arab-Melayu)
g. Bidang Studi Tarikh; Riwayat Nabi Muhammad saw (aksara Arab-Melayu)
h. Bidang Studi Agama; Al-Adyan.
i. Bidang Studi Psikologi; Ilm al-Nafs (berbahasa Arab).
j. Bidang Studi Logika; Ilm al-Mantiq.

Hal yang cukup menarik pada periode ini adalah ditiadakannya kitab-kitab tafsir sebagai kitab bacaan, padahal di pesantren ini kegiatan belajar tafsir tetap dilaksanakan mulai dari surat al-Fatihah sampai Surat al-Nas (30 Juz). Bahkan menurut kenyataannya, mata pelajaran tafsir adalah yang utama di pesantren Al-Mukhtariyah dan wajib ditamatkan pada akhir pendidikan santri (kelas 7). Untuk mata pelajaran yang satu ini, H. Zaharuddin dan Qamarzzaman langsung membaca mushaf Alquran dan menafsirkannya tanpa membaca kitab tafsir.

4. Geneologi Keilmuan Qomaruzzaman dan Literatur Pesantren.
Setelah H. Zaharuddin Harahap meninggal dunia pada tahun 2000, pimpinan pesantren digantikan oleh adiknya Ustadz H. Qomaruzzaman el-Mukhtary, atau yang akrab dipanggil dengan Pak Ustadz. Usia Pak Ustadz sekarang telah mencapai 70 tahun, namun ia masih tetap aktif mengajar dan berdakwah.
Qomaruzzaman termasuk seorang otodidak yang cukup genius. Dalam sejarah pendidikannya, ia sebenarnya tidak pernah belajar di pesantren secara serius dan berkesinambungan. Pengetahuan agama yang mumpuni yang sekarang ia miliki diperoleh melalui pendidikan yang tidak teratur di pesantren Al-Mukhtariyah. Ketika ia mulai belajar di pesantren Al-Mukhtariyah, ayahnya Syekh Mukhtar sudah meninggal dunia, ia hanya dibimbing oleh Guru Dame selama lebih kurang 5 tahun. Setelah itu pesantren ini tidak lagi melaksanakan kegiatan pengajaran, dan secara praktis ia tidak lagi belajar di bawah bimbingan seorang Ustadz.
Ketika pesantren Al-Mukhtariyah dibuka kembali, ia dipercayakan turut mengajar di kelas-kelas rendah. Demikianlah, selama puluhan tahun mengajar sambil belajar secara mandiri, Ustadz Qomaruzzaman kemudian tumbuh menjadi seorang ahli agama yang banyak menguasai kitab kuning dan sangat ahli berpidato (orator). Hafalannya cukup bagus dan analisisnya juga demikian, sehingga ia dikenal sebagai ulama yang cukup dihormati dan disegani.
Berdasarkan kualifikasi keilmuan yang dimilikinya, Ustadz Qomaruzzaman tersebut tidak merubah literatur yang dipelajari di pesantren Al-Mukhtariyah. Tetapi kemudian kendala internal dan desakan situasi eksternal, mau tak mau harus terjadi pengurangan literatur kitab kuning dan menambah literatur lain berbahasa Indonesia.
Tampaknya ada sejumlah nama kitab yang tidak lagi dipelajari pada tahun-tahun terakhir ini. Nama-nama kitab dimaksud adalah:

No
Judul Kitab
Pengarang Kitab
Bidang Studi
1
Idzah al-Nasyi`in
Syekh Musthafa al-Ghulayainy
Akhlak
2
Al Adyan
Mahmud Yunus
Aqidah
3
Qawaid al-Fiqhiyyah (1 & 2)
Muhammad Arsyad Thalib Lubis
Fiqh
4
Hikmah al-Tasyiri’ wa al-Falasifah
Syekh Ahmad Jarjawy
Fiqh
5
Bidayah al-Mujtahid
Ibnu Rusyd
Fiqh
6
Ilmu al-Nafs
Mahmud Yunus
Ilmu Jiwa
7
Ilmu Mantiq
Ahmad Abduh Khairuddin
Logika
8
Al-Hushun al-Hamidiyyah
Husain Afandy Al-Jisri
Aqidah
9
Jawahir al-Bukhary
Mushtafa Muhammad Imaroh
Hadis
10
Matn Alfiyah ibn Malik
Muhamamd ibn `Abdillah ibn Malik al-Andalusy
Nahwu
11
Al-Suja’iy ‘ala al-Qatr
Al-‘Allamah Suja’iy
Nahwu
12
Ilmu Balaghah
Abd al-Qadir Qatti
Balaghoh
13
Matan Sanusi

Aqidah
14
Syarh Mukhtasharin Jiddan
Ahmad Zainy Dahlan
Nahwu
15
Idlah al-Mubham
Syekh Ahmad al-Damanhury
Aqidah

Selain kitab-kitab yang disebut di atas, saat ini di pesantren Al-Mukhtariyah telah dipelajari sejumlah buku non-agama berbahasa Indonesia, sebagaimana dipelajari di madrasah tsanawiyah dan aliyah.

Pembahasan
1. Faktor Pergeseran Literatur
Kesimpulan yang dapat dinyatakan dari paparan di atas adalah, bahwa di pesantren Al-Mukhtariyah telah terjadi beberapa kali pergeseran literatur yang digunakan dalam proses belajar-mengajar. Pergeseran dimaksud cenderung ke arah penghilangan kitab-kitab kuning pada literatur lain yang mengedepankan aspek keindonesiaan. Secara skematis perubahan dimaksud dapat dilukiskan sebagai berikut:

Kitab kuning murni
Kitab kuning
Kitab Arab-Melayu
Kitab Kuning
Kitab Arab Melayu
Buku bhs Indonesia

Ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab terjadinya pergeseran literatur di pesantren Al-Mukhtariyah. Beberapa faktor yang cukup penting dapat disebutkan sebagi berikut:
Kebijakan untuk memakai kitab-kitab Arab-Melayu pada dasarnya bertolak dari kesadaran pihak pesantren atas keterbatasan para santri pemula. Mereka sama sekali masih awam dengan kitab-kitab berbahasa Arab, apalagi yang tidak berbaris (syakl). Karenaya, belum waktunya diberikan kitab-kitab berbahasa Arab kepada santri baru yang masih duduk di kelas 1 tsanawiyah. Untuk itu, sebagai latihan kepada mereka diberikan kitab-kitab yang berbahasa Indonesia, tetapi menggunakan aksara Arab. Jadi, kebijakan ini semata-mata bertujuan untuk mencapai tujuan pendidikan di pesantren.
Ketersediaan kitab-kitab kuning di pasaran sangat terbatas, bahkan ada sejumlah kitab yang tidak dicetak ulang lagi. Karena itu tidak mungkin kitab-kitab semacam itu dipelajari di pesantren, sementara santri tidak memiliki kitabnya. Kitab-kitab klasik yang selama ini dipakai di pesantren banyak yang diterbitkan di Singapura dan Surabaya, sekarang tidak dipasarkan lagi di Sumatera Utara, sehingga tidak mungkin dipertahankan lagi.
Keterbatasan tenaga pengajar yang piawai membaca dan menjelaskan kitab-kitab klasik, yang notabene menggunakan bahasa dan sistematika penulisan yang sulit diikuti oleh guru-guru yang tidak berpengalaman. Hal ini sangat dirasakan oleh pesantren Al-Mukhtariyah pada 7 tahun terakhir, karena sejumlah guru senior telah meninggal dunia. Guru-guru muda yang mengajar saat ini, sekalipun umumnya sarjana IAIN dan juga lulusan pesantren, kurang berani mengajarkan kitab-kitab kuning karya ulama abad pertengahan.
Keterbatasan waktu santri untuk lebih banyak mempelajari kitab-kitab kuning. Hal ini terjadi karena waktu belajar di kelas maupun dipemondokan telah banyak dibagi untuk mempelajari ilmu-ilmu non-agama. Tampaknya kebijakan pemerintah yang diterapkan secara sistematis melalui penerapan SKB Tiga Menteri secara langsung atau tidak langsung telah menggeser tradisi pesantren Al-Mukhtariyah dalam mengajarkan kitab-kitab kuning seperti yang pernah dilakukan pada masa lalu (sebelum SKB Tiga Menteri).

2. Konsekuensi Pergeseran Literatur
Pergeseran literatur keagamaan dari kitab kuning ke kitab putih, seperti diutarakan sebelumnya, merupakan suatu kenyataan obyektif yang mau tak mau harus diterima oleh pesantren Al-Mukhtariyah. Pergeseran itu tidak lain adalah akibat dari faktor internal dan eksternal pesantren yang tidak dapat diatasi. Kenyataan ini menjadi problematika tersendiri bagi sebuah pesantren yang ingin konsisten mempertahankan unsur-unsur tradisional Islam dalam pemilihan literatur di pesantren. Inilah dinamika perkembangan pendidikan di pesantren. Apapun usaha pesantren untuk tetap menggunakan literatur kitab kuning, namun ia akan terbentur dengan perkembangan internal dan eksternal yang sulit ditolak.
Dampak dari pergeseran literatur di pesantren Al-Mukhtariyah ternyata tidak hanya sebatas menghilangnya satu persatu literatur klasik Islam dari khazanah pemikiran para ustadz, ia juga telah memupus secara perlahan (evolutives) identitas pesantren. Pada 10 tahun terakhir, pesantren Al-Mukhtariyah telah berjuang untuk mempetahankan identitasnya sebagai pusat pendidikan Islam yang konsisten dengan kitab klasiknya, tetapi usaha itu tidak cukup kuat untuk melawan “kanker” yang terus menggerogoti. Hari ini pesantren Al-Mukhtariyah berada di “simpang jalan” di antara dua posisi; pesantren atau madrasah.
Sejauh ini pimpinan pesantren Al-Mukhtariyah masih berusaha memposisikan dirinya sebagai pesantren salafi dengan tetap mempertahankan sejumlah kitab kuning yang tersisa sebagai literatur utama para ustadz dan santri. Tetapi tampaknya usaha itu tidak mampu menundukkan kondisi internal yang semakin tidak kondusif, baik karena keterbatasan tenaga pengajar yang mampu mengajarkan kitab kuning maupun karena sikap apatis para santri terhadap kitab-kitab tersebut. Jadi kini Al-Mukhtariyah sedang menghadapi sebuah dilema yang berwujud “lingkaran setan”, yang ditandai dengan pertentangan antara semangat untuk memperta­hankan identitas pesantren dengan kondisi obyektif yang kurang mendukung.
Kesulitan paling berat yang dihadapi oleh pesantren Al-Mukhtariyah saat ini adalah perubahan orientasi berpikir masyarakat, termasuk para santrinya, ke arah yang lebih pragmatis. Orientasi pragmatis itu membentuk persepsi sosial yang menempatkan ilmu-ilmu keislaman pada posisi lebih rendah daripada ilmu-ilmu lainnya. Sekarang ini, santri yang belajar di pesantren Al-Mukhtariyah lebih cenderung mengejar ijazah madrasah daripada menggali ilmu-ilmu agama dari kitab klasik. Indikasi ini sangat jelas terlihat, di mana ketika para santri lulus di tingkat tsanawiyah, lalu sebagian besar mereka meninggalkan pesantren dan kemudian mendaftar ke madrasah aliyah atau ke SMA negeri. Hal yang sama juga terjadi pada santri tingkat aliyah, di mana ketika mereka memperoleh ijazah aliyah negeri, lalu sebagian besar mereka melanjutkan ke IAIN/STAIN tanpa bersedia lagi menyelesaikan pendidikan satu tahun lagi di pesantren. Ini fakta obyektif yang merupakan “buah simalakama” bagi pesantren. Sebab jika para santri tidak diberi kesempatan mengikuti ujian negara, maka tidak akan ada lagi santri baru yang mendaftar ke pesantren, sebaliknya jika mereka sudah lulus ujian negara, maka mereka “rame-rame” meninggalkan pesantren.
Konsekuensi logis dari fakta demikian tidak lain harus dengan sikap akomodatif pesantren terhadap arus perkembangan yang cukup deras dari luar. Pilihan yang mungkin dilakukan hanya ada dua; mempertahankan tradisi pesantren dengan menerima kurikulum pendidikan madrasah, atau merubah diri menjadi madrasah dengan memelihara tradisi pesantren. Pilihan manapun yang di­putuskan tetap tidak lagi memperkuat jati diri pesantren sebagai pusat pelestarian literatur kitab kuning.
Pimpinan dan para ustadz di Al-Mukhtariyah cukup menyadari adanya pergeseran yang signifikan literatur kitab kuning di pesantren. Menurut pimpinan pesantren ini, pergeseran itu seharusnya tidak terjadi jika pemerintah menyadari arti dan fungsi kehadiran lembaga pendidikan pesantren di tanah air. Kebijakan pemerintah tentang SKB Tiga Menteri tentang Kurikulum Madrasah merupakan pukulan berat bagi pesantren, karena dapat merusak tatanan pendidikan yang sudah lama dibangun. Hal yang sulit dipahami oleh para ustadz pesantren adalah dasar kebijakan pemerintah untuk membuat pesantren harus identik sama dengan madrasah. Mereka menilai kebijakan tersebut bertolak dari ketidaktahuan tentang kurikulum yang diajarkan di pesantren. Pemerintah menganggap bahwa; (1) kitab kuning itu hanya mengajarkan doktrin agama semata-mata, padahal tidak demikian. Di pesantren itu diajarkan nahwu & sharf (tata bahasa), balaghah, bayan, ma’ani (sastera), Al-Adyan (perbandingan agama), Ilmu al-Nafs (Psikologi), Ilmu Falaq (Astronomi), Ilmu Mantiq (Logika), dan lain-lain; dan (2) pengetahuan umum yang standard hanya pada matematika, ilmu pengetahuan sosial, dan bahasa Inggris. Jadi, keputusan mengenai SKB Tiga Menteri itu sebetulnya tidak lain karena perasaan rendah diri saja, padahal para lulusan pesantren itu tidak buta ilmu pengetahuan umum, seperti yang mereka bayangkan.
Penegasan tersebut mengindikasikan dua hal penting yang layak digarisbawahi; Pertama, bahwa nilai dan fungsi kitab kuning bagi para ustadz di pesantren tidak hanya media tranformasi pengetahuan agama, melainkan juga pengetahuan umum. Artinya, bahwa pesantren juga dapat mengajarkan pendidikan umum dengan tetap menggunakan kitab kuning. Kedua, sesungguhnya pesantren tidak menolak untuk mengajarkan pengetahuan umum, dan bahkan ini sudah dilakukan sejak lama. Hal yang menjadi persoalan adalah mengapa harus Matematika, IPS dan Bahasa Inggris. Mungkin akan menjadi lebih fair, jika model pengukuran pesantren mengacu pada kurikulum pesantren itu sendiri. Model pengukuran itu boleh saja yang berkenaan dengan ilmu-ilmu umum, tetapi harus yang memiliki sinergi dengan pengetahuan agama. Pemikiran ini agaknya patut diperhatikan untuk menghidupkan kembali sistem pendidikan pesantren di Indonesia, khususnya di luar Pulau Jawa.
Mengenai kebijakan pemerintah untuk menghidupkan kembali sistem pendidikan tradisional melalui pesantren salafiyah ditanggapi secara positif oleh pimpinan pesantren Al-Mukhtariyah. Mereka melihat kebijakan tersebut sebagai bentuk kesadaran baru yang perlu direspon dengan program-program yang lebih konkrit. Menurut pihak pesantren Al-Mukhtariyah, upaya untuk mengembangkan pesantren salafiyah pada saat sekarang ini masih butuh waktu dan menuntut keseriusan semua pihak, khususnya pengelola pesantren dan juga pemerintah. Persolan krusial yang sulit diatasi sekarang ini adalah pergeseran orientasi masyarakat. Sekarang masyarakat sudah maju, mereka tidak lagi mencukupkan pengetahuan yang diperoleh di pesantren. Karena itu, jika alasannya adalah agar lulusan pesantren dapat melanjutkan ke perguruan tinggi negeri, pemerintah perlu mendorong umat Islam agar mendirikan perguruan tinggi model pesantren, dengan kurikulum sendiri yang berbeda dari IAIN. Perguruan tinggi pesantren itu tidak mesti negeri, tetapi lulusannya diberi kesempatan menjadi pegawai negeri. Ini memang tidak lazim, tetapi perlu dipikirkan ke depan, jika memang pemerintah mengakui keberadaan pesantren salafi. Kita harus membangun perguruan tinggi pesantren agar lulusan Aliyah di pesantren bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Penutup
Al-Mukhtariyah adalah sebuah pesantren tua di Kabupaten Tapanuli Selatan Sumatera Utara yang menggunakan literatur keagamaan kitab kuning dari sejak berdirinya tahun 1935. Dalam sejarah perkembangannya, pesantren ini telah mengalami banyak kendala dalam menggunakan literatur kitab kuning dalam proses belajar-mengajar di dalam kelas. Sepertinya, pihak pengelola pesantren tidak mampu membendung derasnya desakan eksternal, sehingga kitab-kitab kuning secara perlahan digeser oleh buku-buku putih berbahasa Indonesia. Akibatnya, sekarang penggunaan kitab kuning sebagai rujukan dan bacaan utama pesantren telah mengalami pergeseran yang signifikan dibandingkan dengan pada saat pendirian awalnya.
Persoalan pokok yang menjadi faktor pergeseran literatur di pesantren Al-Mukhtariyah adalah kebijakan sistematis yang mengharuskan pesantren untuk menerapkan SKB Tiga Mnteri tentang Kurikulum Madrasah. Kebijakan itu tidak hanya menghilangkan secara evolutif kitab-kitab kuning dari pesantren, melainkan juga mengurangi minat santri untuk menekuni literatur klasik tersebut. Faktor lain yang cukup penting adalah keterbatasan tenaga pengajar yang mumpuni dan ketidaktersediaan kitab-kitab yang dibutuhkan di pasaran. Implikasinya sangat jelas, pesantren Al-Mukhtariyah seolah kehilangan identitas aslinya sebagai pusat kajian literatur klasik. Al-Muktariyah kini berada di “simpang jalan” di tengah posisi sebagai pesantren atau madrasah.
Ke depan sangat diperlukan kebijakan dan perencanaan yang matang untuk menghidupkan kembali pesantren salafiyah. Salah satu upaya untuk itu adalah membangun pergruan tinggi model pesantren yang dapat menampung lulusan pesantren ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Harapan lainnya tentu adalah bagaimana semua pihak menyadari bahwa literatur klasik masih sangat diperlukan oleh pemeluk Islam di negeri ini, tidak saja dalam upaya pelestariannya, tetapi juga untuk mengembangkan nilai-nilai keilmuan yang ada di dalamnya. Untuk itu amat mendesak untuk menerbitkan kembali kitab-kitab dimaksud dalam jumlah besar.

Penulis: Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara, juga staff peneliti pada Pusat Penelitian IAIN SU. Menyelesaikan Program S2 di IAIN Sumatera Utara.



Pustaka Acuan
Al Rasyidin, Fokus Orientasi Studi Keislaman di Beberapa Pesantren Sumatera Utara, Tesis, tidak diterbitkan (Medan: PPs IAIN SU, 2000)
Clifford Gerzt, ‘The javanesse Kijaji: The Canging of a cultural Broker’ dalam Comparative Studies in Society and History (New York: The Free Perss, 1960)
Cristine Dobbin, Islamic Revivalism in a Canging Peasant Economy Central Sumatra 1784-1849 (London: Curzon Perss Ltd, 1983)
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1995).
James H. Mcmillan dan Sally Schumacher, Research in Education: A Conceptual Introduction (New York: Longman, 2001)
Karel A. Steenbrink, Peantren Madrasah Sekolah: pendidikan islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1991)
M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren: membangun dari Bawah (Jakarta: P3M, 1985)
Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1983)
Marin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999)
Mathew B. Miles dan Michael Huberman, Analisas Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohendi Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992)
Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Bandung: Mizan, 1997)
S. Purbakawatja, Pendidikan dalam Alam Indonesia merdeka (Jakarta: Gunung Agung, 1970)
S.J. Taylor dan R. Bogdan, Introduction to Qualitative Research Methods. second edition. (New York: Willey, 1984).
Selo Sumardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991)
Sharan B. Merriam, Case Study Research in Education: A Qualitative Approach (San Francisco: Jossy-Bass Publishers, 1988).
Sutedja Bradjanegara, Sejarah Pendidikan Indonesia (Yogyakarta: UGM, 1956)
Zamakhsari Dhofier, ‘Tradition and Cange in Indonesia Islamic Education’ dalam A.G. Muhaimin (ed.), Tradition and Cange in Indonesia Islamic Education (The Republic of Indonesia: Office of Religious Research and Development Ministry of Religious Affairs, 1995)
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, cet. 6 (Jakarta: LP3ES, 1994).


[1] Abdul Rahman Wahid, ‘Nilai-Nilai Kaum Santri’ dalam M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah (Jakarta: P3M, 1985).
[2] Lihat Karel A. Steenbrik, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 65-72.
[3] Elaborasi lebih lanjut lihat Al Rasyidin, Fokus Orientasi Studi Keislaman di Beberapa Pesantren Sumatera Utara, Tesis, tidak diterbitkan (Medan: PPs IAIN SU, 2000).
[4] James H. McMillan dan Michael Schumacher, Research in Education: A Conceptual Introduction (New York: Longman, edisi kelima, 2001), h. 505.
[5] Ibid., hlm. 500.
[6] Lihat Mathew B. Miles dan Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, edisi Indonesia terj. Thetjep Rohendi Rohidi (Jakarta: UI Perss, 1992).
[7] Op. cit. hlm. 35.
[8] Lihat ibid., hlm. 405-407.
[9] Sharan B. Merriam, Case Study Research in Education: A Qualitative Approach (San Francisco: Jossy-Bass Publishers, 1988), hlm. 127.
[10] S.J. Taylor dan R. Bogdan, Introduction to Qualitative Research Methods (New York: Willey, 1984), hlm. 139.
[11] McMillan dan Schumacher, op. cit., hlm 463.
[12] Ibid., hlm. 463.
[13] Ibid., hlm.476.
[14] Ibid., hlm 466.

Tony / Author & Editor

‘Menempuh jalan suluk’ berarti memasuki sebuah disiplin selama seumur hidup untuk menyucikan qalb dan membebaskan nafs (jiwa)

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates