Now you can Subscribe using RSS

Submit your Email

Tuesday, January 30, 2007

Achmad Zen Umar Purba

Tony
Guru Besar dari Empat Dunia

Mantan wartawan ini dinobatkan jadi Guru Besar Ilmu Hukum Internasional Universitas Indonesia, 7 September 2005. Dia guru besar yang melintasi empat dunia profesi berbeda. Mulai dari wartawan, dosen, konsultan hukum dan birokrasi. Namun dalam menggumuli setiap profesi itu, profesi dosen tak pernah ditinggalkannya.

Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H, LL.M, yang akrab dipanggil Zen, melakoni dunia pers sebagai editor hukum majalah berita mingguan Ekspress (1970) dan editor hukum majalah Tempo (1971-1979). Setelah dia menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1974), dia pun menjadi dosen di almamaternya itu, seraya masih berprofesi sebagai wartawan hingga 1979.

Kemudian, Zen berhenti sebagai wartawan dan lebih menekuni profesi sebagai dosen. Kemudian sejak 1986 bergabung dengan firma hukum papan atas Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR). Namun di hanya memberi jasa konsultasi hukum, bukan litigasi dengan berpraktik di pengadilan.

Setelah itu, pada 1999-2002, dia sempat non-aktif dari firma hukumnya, lantaran memasuki dunia birokrasi sebagai Direktur Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) di Departemen Hukum dan HAM. Namun dunia pendidikan sebagai dosen tetap dipertahankannya. "Saya tidak pernah berhenti sebagai dosen," tegasnya bangga.

Dia tampak lebih bangga sebagai dosen. Maka tak heran bila Zen Purba mundur dari pencalonan Hakim Agung. Purba adalah satu dari 14 calon hakim agung dari jalur nonkarier yang diusulkan MA kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dia secara resmi menyampaikan pengunduran diri melalui surat yang disampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan dan ditembuskan ke Ketua Komisi II DPR.


Secara pribadi, dia berterima kasih atas pencalonan dirinya menjadi hakim agung. Tetapi, dengan berat hati terpaksa pencalonan itu tidak dapat dia terima, untuk berkonsentrasi dalam dunia pendidikan.



Dia bahagia mendapat gelar profesor (guru besar) dalam Bidang Ilmu Hukum Internasional yang diterimanya pada usia 63 tahun. Setidaknya, gelar profesor itu sebagai pengakuan dari otoritas, atas pengabdiannya pada dunia pendidikan.


Pria yang dilahirkan di Tebing Tinggi, 18 Juli 1942, lulus dari Fakultas Hukum UI pada tahun 1974. Melanjutkan pendidikan pada Harvard University di Amerika dan meraih gelar LL.M (Magistri in Legibus) pada tahun 1979.



Dia menikah denga Yunizar yang juga seorang Sarjana Hukum dan dikaruniai seorang putri Ayu Alisya Purba, yang juga seorang Sarjana Hukum lulusan tahun 2005 FHUI.


Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar berjudul: Peranan Sumber Daya dan investasi dalam Perkembangan Hukum Internasional Kontemporer, Zen menyatakan keprihatinannya terhadap dunia pendidikan di Indonesia yang tetap dalam keadaan berduka. Menurutnya, perhatian terhadap dunia pendidikan sangat minim.

Zen menegaskan, tidak perlu dikatakan, betapa musykilnya, setidaknya di perguruan tinggi tempatnya berkiprah puluhan tahun, bercita-cita hidup sepenuhnya hanya dalam arena pendidikan hukum, tanpa mesti ke sana ke mari.

Ia secara terbuka menyebut jumlah gajinya per bulan sebagai guru besar hanya sebesar Rp 2,5 juta. Pengungkapan ini, mungkin banyak orang mengatakan itu klasik dan cengeng. Tapi, menurutnya, itu harus disuarakan karena kalau tidak, dunia pendidikan Indonesia takkan berbenah.


Dalam pidato pengukuhannya sebagai profesor, dia mengutip sebuah harian terkemuka dunia yang menyebut, kalau ada pelajaran yang dapat diambil dalam setengah abad terakhir ini, adalah bahwa yang menggerakkan pembangunan ekonomi satu negara bukanlah SDA, tetapi SDM.



Hal itu dijadikan sebagai tema pokok Pidato Pengukuhan Guru Besarnya itu. Dia mengaitkan dengan hukum internasional, bidang keahliannya. Dia memberi contoh dua sumber daya, SDA biasa serta sumber genetika dan pengetahuan tradisional (SGTK), dengan menunjukkan dua hal pula.



Pertama, bagaimana negara berkembang dengan SDA-nya berhasil memengaruhi perkembangan hukum internasional kontemporer. Kedua, sebaliknya, bagaimana negara berkembang selalu berada di belakang dalam menghadapi investor asing. "Dalam SDA yang umum, nilai kekayaan kita sangat ditentukan pihak luar. Dalam SGTK, kita tahu punya harta, setelah barang itu dicuri pihak asing," katanya.

Tony / Author & Editor

‘Menempuh jalan suluk’ berarti memasuki sebuah disiplin selama seumur hidup untuk menyucikan qalb dan membebaskan nafs (jiwa)

Coprights @ 2016, Blogger Templates Designed By Templateism | Distributed By Gooyaabi Templates